Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bundengan, Penutup Kepala Penggembala Bebek yang Jadi Alat Musik

28 November 2019   21:46 Diperbarui: 28 November 2019   22:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggambaran alat musik pada arca dan relief candi (Dokpri)

Sekilas seperti tameng dari anyaman bambu, namun sebenarnya itu alat musik yang disebut Bundengan. Bundengan memiliki banyak nama, seperti Kowangan, Tundungan Punduk, dan Caping Buyuk. Dulu Bundengan digunakan oleh penggembala bebek di sawah sebagai penutup kepala dan badan agar terhindar dari panas.

Nah, untuk mengisi waktu luang, si penggembala bebek memberi senar dari serat pohon nira dan potongan bambu tipis. Bila senar itu dipetik akan menghasilkan bunyi menyerupai gamelan. Biasanya jumlah senar ada empat, mewakili suara gong, kempul, kenong, dan kethuk.

Alat musik Bundengan (Dokpri)
Alat musik Bundengan (Dokpri)
Demonstrasi
Demonstrasi permainan Bundengan dilakukan oleh dua orang bapak di Museum Nasional, Kamis, 28 November 2019. Kalau tidak ada pameran bertajuk "Melacak Jejak Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu", mungkin masyarakat Jakarta dan masyarakat lain, tidak akan tahu adanya alat musik unik seperti itu. Yang satu memainkan alat musik, yang satu menyenandungkan lagu Jawa.

Jaap Kunst pernah mencatat, dulu alat musik Bundengan dijumpai di Kendal, Wonosobo, Boyolali, Banjarnegara, dan Gresik. Sekitar 1990 Bapak Barnawi berupaya melestarikan alat musik ini, yang sekarang populer di Wonosobo dan sekitarnya.

Selain Bundengan, dipamerkan beberapa panel tentang alat musik tradisional lain. Dari Nias ada Doli-doli. Alat musik silofon ini dimainkan di paha atau kaki.

Alat musik seperti gramofon harus diputar engkolnya 30 kali untuk menjalankan silinder lilin (Foto: Nunus Supardi)
Alat musik seperti gramofon harus diputar engkolnya 30 kali untuk menjalankan silinder lilin (Foto: Nunus Supardi)
Sumber tak tertulis
Selain sumber tertulis, seperti naskah dan prasasti, adanya alat musik juga diperlihatkan sejumlah arca kuno dan relief candi. Dalam ruang pameran, terlihat ada arca yang memegang alat musik pada tangan kanan dan tangan kiri. Ada pula alat musik dari cangkang kerang, biasanya disebut sangkha. Sangkha digunakan para dewa.

Awalnya Musik Berkaitan dengan Ritual Keagamaan dan Peperangan

Beberapa prasasti yang memuat informasi alat musik antara lain Prasasti Gandasuli (847 M). Di dalamnya disebutkan adanya alat musik curing sebagai perlengkapan upacara. Lain lagi di dalam Prasasti Poh (905 M), disebutkan alat musik gamelan berupa padahi, rgang, dan tuwung.

Alat musik tradisional (Dokpri)
Alat musik tradisional (Dokpri)
Jaap Kunst
Jaap Kunst (1891-1960) lahir di Belanda. Ayahnya seorang kritikus musik, sehingga Kunst memiliki perhatian lebih pada seni musik.  Pada 1919, Kunst meninggalkan Belanda dan berkarier sebagai musisi di Hindia-Belanda (Indonesia).

Rangkaian pertunjukan musik ditampilkan Kunst di berbagai wilayah Indonesia, kemudian menggiringnya untuk menekuni musik rakyat Indonesia atau dalam bahasa ilmiah, Etnomusikologi.

Sepanjang 1930-1932 Kunst mengelilingi Indonesia untuk melakukan penelitian dan pendokumentasian kegiatan seni, termasuk musik. Pada 1934 Kunst kembali ke Belanda. Sebelumnya Kunst memindahkan koleksi Arsip Musikologi yang dikelolanya: sekitar 1.000 koleksi alat musik, 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca, dan 450 slide kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sekarang Museum Nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun