Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kami Sudah Bosan Takut, Libur Panjang pun Macet Panjang

4 November 2020   09:36 Diperbarui: 4 November 2020   09:39 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramaian di Sekitar Alun-Alun (Dokpri)

Libur panjang baru saja usai dan menyisakan banyak cerita ceria bagi mereka yang berlibur terutama keluar kota tempat tinggalnya. Laman FB dan IG penuh dengan foto-foto selfie para wisatawan yang sedang bersuka cita melepas kepenatan selama masa pandemi. 

Laman twitter pun tak kalah ramai memberitakan kemacetan panjang dimana-mana, tanda denyut perekonomian mulai bergeser ke daerah terutama yang dekat dengan tempat-tempat wisata. Pandemi seolah sudah tak lagi dihiraukan oleh sebagian besar warga yang berlibur ke tempat wisata maupun yang pulang kampung.

Sejak demo besar-besaran awal Oktober lalu yang ternyata tidak menghasilkan klaster besar, juga setelah beberapa peristiwa mulai dari kumpul-kumpul di McD, ramainya belanja saat menjelang lebaran, libur panjang pertama Agustus lalu, semakin meyakinkan sebagian masyarakat bahwa penyakit ini bisa dikendalikan dan cukup mudah untuk disembuhkan. 

Pertambahan kasus tidak se-eksponensial seperti prediksi awal, begitu pula tingkat kematian yang cenderung stabil, sementara tingkat kesembuhan semakin tinggi dengan rata-rata di atas 75%.

"Kami sudah bosan takut," begitu kata seorang teman saat saya sambangi di sebuah kafe di salah satu kota tujuan wisata. Menurutnya, yang namanya wabah penyakit selalu ada ciri-cirinya, misal wabah cacar pasti ada bisul-bisul, atau DBD yang ditunjukkan dengan bentus-bentus di kulit. 

Lha ini wabah koq tidak ada cirinya sama sekali. Wabah koq tanpa gejala, banyak orang sehat koq dianggap sebagai pembawa penyakit, lha terus penyakitnya seperti apa? Katanya seribu wajah, tapi wajahnya yang manapun tidak jelas bentuknya.

Menyambung ceritanya, awal wabah memang kota ini sempat sepi, sama persis seperti di Jakarta dan kota-kota lain. Namun setelah sebulan lebih berlalu dan tidak ada tanda-tanda yang luar biasa, akhirnya masyarakat mulai kembali beraktivitas normal. 

Awal puasa sudah mulai ramai ngabuburit, sambil tetap kucing-kucingan dengan petugas. Libur panjang pertama kotanya mulai banyak dikunjungi wisawatan walau belum seramai sekarang ini. Setelah itu kegiatan masyarakat berlangsung normal, nyaris sama seperti sebelum pandemi kecuali sekolah saja yang masih tutup.

Secara psikologis, bila seseorang diberikan informasi yang menakutkan akan melakukan tindakan preventif seperti berlindung, menyembunyikan diri dari penyebab rasa takut tersebut. 

Namun bila informasi tersebut disampaikan secara terus menerus dan berulang-ulang, lama kelamaan kuping dan mata jadi kebal, apalagi ternyata apa yang diinformasikan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang dilihatnya langsung. 

Seperti saya alami, awalnya juga merasa takut. Namun setelah berlangsung beberapa bulan tidak ada kejadian luar biasa seperti mayat bergelimpangan, ambulan lalu lalang, dan orang-orang mulai beraktivitas seperti biasa, rasa takut tersebut mulai lenyap dengan sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun