Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Politik, Kekuasaan, dan Uang

15 Maret 2019   19:20 Diperbarui: 15 Maret 2019   19:23 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita tertangkap tangannya salah satu ketua umum parpol tertua di Indonesia oleh KPK sebenarnya tidaklah terlalu mengagetkan. Di samping Mahfud MD sudah pernah memprediksi suatu ketika akan terjadi hal ini, perburuan koruptor di Indonesia ibarat berburu di kebon binatang. Tinggal pilih siapa mangsa berikutnya karena perilaku korupsi sudah demikian mendarah daging di hampir semua lini kehidupan bangsa ini.

Di era reformasi yang kebablasan ini, masuk partai politik merupakan cara termudah untuk memperoleh kekuasaan, yang berujung pada peningkatan pendapatan alias uang. Perilaku masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih suka menengadahkan tangan (walau belum tentu miskin) semakin memudahkan para spekulan politik ini untuk melenggang menuju tampuk kekuasaan demi memperoleh penghasilan besar tanpa harus bersusah payah membangun usaha dari nol, hanya bermodal cuap-cuap layaknya calo terminal menawarkan bis tapi tak pernah pergi kemana-mana.

Kondisi sekarang ini ibarat sebuah mata rantai ekosistem yang tak boleh putus alirannya. Dimulai dari partai politik yang memerlukan suara untuk dapat bertahan hidup di gedung DPR selama minimal lima tahun dan untuk melanggengkan kekuasaannya lima tahun berikutnya dan seterusnya. Lalu bermainlah para aktor politik untuk meraih simpati masyarakat dalam berbagai bentuk seperti bantuan pembangunan jalan, sarana ibadah, sumbangan sosial, dan sebagainya yang memerlukan uang tidak sedikit.

Lalu darimana uang itu diperoleh? Sebagian mungkin dari sumbangan para simpatisan, sebagian lagi bisa jadi dari para pengusaha yang ingin mengamankan jalannya bisnis agar tidak diganggu oleh sekelompok orang berseragam apapun warnanya. Repotnya jumlah tersebut belumlah cukup sehingga memerlukan dukungan 'negara' melalui 'dana aspirasi' yang dipoles dalam berbagai bentuk, baik resmi maupun tak resmi. Uang negara menjadi bancakan para politisi demi melanggengkan kekuasaan mereka.

Kekuasaan yang diperoleh digunakan sebagai sarana jual beli, baik jabatan seperti pada kasus OTT yang baru saja terjadi pada ketum PPP, atau kasus OTT Bupati Klaten beberapa waktu lalu, perizinan seperti kasus OTT Bupati Bekasi, pengadaan barang dan jasa seperti kasus PLN, dan kasus-kasus lainya yang sedang dan sudah ditangani KPK. Dengan kekuasaan itu mereka memperoleh imbalan yang digunakan untuk 'membantu' para konstituen dan calon pemilih agar dapat kembali berkuasa, sebagian lagi untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya (baca: partainya).

Sejatinya politik dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk membuat kebijakan (policy) yang dapat memajukan kehidupan masyarakat. Bila praktek politik dijalankan secara benar seharusnya masyarakat sudah semakin maju karena apa yang diperjuangkan benar-benar murni keinginan masyarakat. Sayangnya di negeri ini politik selalu dikaitkan dengan uang. Suara masyarakat bisa 'dibeli' dengan mudah hanya karena datangnya bantuan, sumbangan, dan sejenisnya yang nilainya tak sebanding dengan kekuasaan yang diperoleh para pelakor politik.

Partai politik seharusnya dibentuk untuk mewadahi aspirasi masyarakat agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Para aktor politik di dalamnya seharusnya memperjuangkan suara masyarakat yang diwakilinya agar dapat diambil sebuah kebijakan yang menguntungkan masyarakat. Namun sekarang ini kondisinya justru terbalik, para politisi justru berebut melanggengkan kekuasaannya dengan 'membeli' suara masyarakat yang masih saja lebih senang menengadahkan tangan daripada mendukung secara ikhlas.

Trias politica tidak lagi diartikan secara harfiah, namun dipelesetkan menjadi partai politik, kekuasaan, dan uang. Partai politik digunakan sebagai kendaraan untuk memperoleh kekuasaan, dan dengan kekuasaan itulah uang dapat diperoleh dengan mudah. Tidak heran kalau banyak caleg yang tak terpilih stress dan masuk rumah sakit jiwa karena sudah bermodal besar namun gagal berkuasa sehingga lenyap sudah uang di depan mata.

Sudah seharusnya (partai) politik dikembalikan kepada khittahnya. Dimulai dari masyarakat yang tidak lagi meminta-minta bantuan kepada para pejabat atau penguasa maupun anggota dewan sebagai representasi partai, pengurus dan anggota partai yang tidak menjual kekuasaannya baik yang memegang jabatan politik maupun negara, hingga penyelenggara negara yang bekerja profesional tanpa harus ikutan berburu jabatan. Partai politik harus mandiri, hidup dari gotong royong para pengurus dan anggotanya, bukan menghisap uang negara atau menjual belikan kekuasaan.

Selama kondisi politik masih seperti ini, jangan harap OTT akan berhenti. Bakal ada lagi korban berikutnya karena pada dasarnya sangat mudah membidik para politisi tersebut, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjeratnya. Apakah kita mau seperti ini terus?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun