Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika Rumah (Bukan) Menjadi Tempat Tinggal

7 Februari 2019   16:17 Diperbarui: 7 Februari 2019   18:15 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Baru yang Disewakan Kembali di Maja (Dokpri)

Rumah adalah kebutuhan dasar bagi setiap keluarga agar tinggal di tempat yang layak dan mampu mengembangkan keturunan untuk menjadi generasi penerus bangsa. Hal ini dipertegas dalam Pembukaan UUD 45 Pasal 28 H ayat 1 yang selengkapnya berbunyi:

"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan"

Artinya bahwa negara harus menjamin tersedianya kebutuhan rumah bagi warga negaranya yang berhak untuk bertempat tinggal serta memperoleh lingkungan hidup yang baik, sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan. Saya menggarisbawahi "tempat tinggal" sebagai unsur penting dalam pembentukan generasi muda, tidak sekedar untuk ditinggali atau dimiliki semata.

Rumah termasuk kebutuhan primer manusia disamping sandang (pakaian) dan makanan (pangan). Walau tak harus memiliki, namun setiap keluarga baru wajib untuk menghuni rumah, apakah itu rumah sewa atau rumah milik, rumah tapak atau susun. Kebutuhan rumah di Indonesia cukup tinggi dengan angka backlog mencapai sekitar 7 juta unit pada tahun 2015.

Namun ironisnya, di sisi lain rumah bukan lagi sekedar tempat untuk tinggal sebuah keluarga. Rumah telah berubah menjadi barang investasi yang nilai semakin tinggi seiring dengan meningkatnya harga tanah dan kebutuhan masyarakat akan rumah itu sendiri.

Kemudahan memperoleh kredit serta semakin panjangnya waktu tenor cicilan hingga 20 tahun (bahkan sedang diusulkan untuk dinaikkan lagi menjadi 25 tahun) serta uang muka sebesar 20% dari harga rumah membuat banyak orang membeli rumah kedua, ketiga, dan seterusnya.

Harga rumahpun semakin meroket dan nyaris tak terjangkau lagi oleh generasi milenial. Pada akhirnya para pekerja muda tersebut terpaksa menjadi 'kontraktor' alias penyewa rumah di perkotaan karena tak sanggup untuk membayar harga rumah, sementara untuk membeli rumah pribadi letaknya semakin jauh dari pusat kota atau tempat kerja mereka.

Saat ini saja harga rumah subsidi yang masih terjangkau berjarak sekitar radius 50 km dari pusat kota karena tanah murah semakin langka, seperti di daerah Cikarang atau Balaraja Barat. Padahal 20 tahun lalu masih berada pada kisaran 20-30 km, itupun sudah termasuk jauh seperti Depok dan Bekasi.

Ironisnya, rumah-rumah murah yang jauh dari pusat kotapun mulai dirambah oleh para 'investor' dan spekulan rumah. Saat survei beberapa hari lalu, saya melihat sendiri rumah-rumah di daerah Maja yang baru saja dibuka oleh sebuah grup perumahan raksasa negeri ini, ternyata disewakan kembali dan tampak tidak dihuni, padahal sudah dibangun sejak tahun 2016 lalu, artinya sudah tiga tahun rumah-rumah tersebut tidak dihuni. Kondisinya sudah mulai kusam tak terawat dalam satu kluster besar.

Sungguh menyedihkan, ketika di satu sisi generasi milenial membutuhkan rumah untuk ditinggali dan dimiliki, namun di sisi lain para investor ini seperti haus akan kepemilikan rumah, tak peduli dihuni atau tidak. Para investor itu semakin berani berspekulasi membeli rumah-rumah murah di daerah pinggiran kota, padahal belum tentu laku lha wong jaraknya saja jauh dari tempat kerja.

Saya hanya khawatir, suatu saat perumahan-perumahan tersebut bakal menjadi kota mati seperti Maja tahun 90-an, dimana para pengembang besar terjebak spekulasi membangun rumah besar-besaran namun kandas karena krisis moneter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun