Mohon tunggu...
Divia Priscilla
Divia Priscilla Mohon Tunggu... Lainnya - Helo!

penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Pemerintah Mengatasi Pandemi di Era New Normal dalam Kebijakan Fiskal?

23 Desember 2020   12:20 Diperbarui: 23 Desember 2020   12:24 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, baik itu di negara maju maupun negara berkembang menunjukkan trend menurun pada awal tahun 2020. Kondisi ini disebabkan karena adanya pandemi Covid-19 yang di alami oleh hampir setiap negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, kasus pertama yang diketahui positif Covid-19 diumumkan pertama kali pada bulan Maret 2020 yang di mana hal ini cukup menggemparkan masyarakat Indonesia. Eksistensi Covid-19 di Indonesia membuat negara kita mau tidak mau harus mengatur ulang target pencapaian ekonomi pada tahun 2020 dan untuk perkiraan tahun mendatang, yaitu tahun 2021.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia resmi mengalami resesi ekonomi setelah mengalami kontraksi berturut-turut dari kuartal sebelumnya. Hal ini ditandai dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2020 yang tumbuh negatif mencapai 3,49 persen (year on year/ yoy) dan pada kuartal sebelumnya yaitu kuartal II-2020 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga mengalami kontraksi, yaitu sebesar -5,32 persen (year on year/ yoy).

Hal ini disebabkan karena dampak pandemi Covid-19 yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Adanya kebijakan yang diambil pemerintah mengenai social distancing maupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sangat mempengaruhi perputaran perekonomian, diantaranya aktivitas pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), sektor pariwisata, dan sektor manufaktur yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi melambat.

Kebijakan PSBB membuat masyarakt tidak dapat keluar rumah secara bebas, masyarakat mau tidak mau harus bekerja di rumah atau dikenal dengan Work From Home (WFH). Sektor pariwisata tentu saja sangat terancam karena hal ini. Masyarakat kemana-mana terbatas karena adanya zona merah yang mengindikasi bahwa zona tersebut sudah terinfeksi Covid-19, banyak yang mengundur jadwalnya karena hal ini. Sektor manufaktur juga terkendala karena aktivitas para pekerja yang tidak diperbolehkan untuk datang langsung ke tempat kerjanya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan mengurangi karyawannya karena income yang tidak mencukupi. UMKM mati karena masyarakat cenderung untuk menyimpan uangnya dan hanya membeli barang sesuai kebutuhan, dan lain-lain. Akhirnya tenaga kerja berkurang yang otomatis pengangguran melonjak tinggi dan berkaitan sangat erat dengan kemiskinan yang meningkat. Hal ini menyebabkan pajak penghasilan (PPh) yang merupakan penerimaan negara menurun serta kenaikan belanja negara guna penanggulangan wabah serta kemungkinan terjadi peningkatan pembiayaan.

Peningkatan kinerja realisasi Belanja Pemerintah Pusat tersebut antara lain dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial (bansos) mencapai Rp61,4 triliun dan belanja modal yang mencapai Rp20,7 triliun. Belanja bansos tumbuh sebesar 13,7 persen (yoy) untuk mendukung Jaring Pengaman Sosial (SSN) menghadapi pandemi Covid-19, melalui pemberian bantuan Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Penyaluran Bansos Sembako untuk keluarga penerima manfaat di wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek, serta Penyaluran Bansos Tunai bagi keluarga penerima manfaat di luar wilayah Jabodetabek.

Tetapi untuk saat ini karena sudah memasuki era new normal, pada sektor tertentu diperbolehkan untuk Work From Office (WFO) yang di mana setiap perusahaan yang memberlakukan WFO harus mengikuti protokol kesehatan sesuai dengan aturan dari pemerintah. Hal ini yang juga menyebabkan kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal III-2020 sedikit membaik meskipun pertumbuhan ekonominya masih tumbuh negatif. Hal membaik ini ditandai dengan pada kuartal II-2020 yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh sebesar minus 5,32 persen dan pada kuartal III-2020 tumbuh sebesar minus 3,49 persen.

Lalu, bagaimana pemerintah mengatasi dampak ekonomi ini di era pandemi pada kebijakan fiskal?

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.

Menurut (Hafidh, 2020), berikut adalah rangkaian kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi Covid-19:

  • Pemerintah mengeluarkan tiga stimulus terkait dengan COVID-19. Kebijakan stimulus pertama adalah insentif pariwisata. Stimulus kedua adalah insentif perpajakan sektor manufaktur yaitu sebesar Rp 22,9 triliun. Sementara itu, stimulus ketiga terdiri dari social safety net sebesar Rp 110 triliun, insentif tenaga dan pelayanan kesehatan sebesar Rp 75 triliun dan dukungan industri sebesar Rp 70,1 triliun.
  • Terkait dengan stimulus kedua, Kemenkeu menerbitkan PMK 23/2020 tentang stimulus pajak untuk karyawan dan dunia usaha. Stimulus tersebut antara lain pajak penghasilan karyawan ditanggung Pemerintah (PPh 21 DTP), pembebasan pajak penghasilan impor serta pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Kementerian Keuangan juga memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terdampak Covid-19.
  • Terkait dengan stimulus ketiga, Presiden menginstruksikan kepada seluruh Menteri/ Pimpinan/ Gubernur/ Bupati/ Walikota untuk melakukan percepatan refocusing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang jasa guna penanganan Covid-19. Hal ini dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/2020.
  • Presiden RI juga memberikan arahan agar Kementerian/ Lembaga mengutamakan pembelian produk UMKM dalam negeri serta mendorong BUMN memberdayakan UMKM.

Beberapa stimulus memang menjadi sorotan dan pro kontra di masyarakat. Namun, secara umum pemerintah pun menjaga anggaran defisit tidak melebihi 3%, demi kesehatan perekonomian jangka panjang.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran negara untuk menjaga pertumbuhan ekonomi maupun kestabilan perekonomian. Dari sisi penerimaan, pemerintah harus memperhatikan pemberian kontribusi penerimaan dari PPN dan PPh Badan yang selama ini menjadi andalan pemerintah. Dari sisi pengeluaran, pemerintah harus mampu memperhatikan realisasi penggunaan dana tersebut agar tepat sasaran dan mengutamakan kegiatan prioritas pencegahan pandemi Covid-19. Untuk menekan defisit anggaran terhadap pembiayan-pembiayan pemerintah dapat melakukan refocusing/revisi terhadap anggaran yang ada di APBN untuk dioptimalkan penggunaannya selama masa pandemik Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun