Langkah pemerintah memberikan dana talangan sebesar Rp 8,5 triliun kepada BUMN Penerbangan, PT Garuda Indonesia Airline patut didukung. Injeksi dana ini diperlukan untuk menyelamatkan keuangan Garuda yang tengah kesulitan akibat wabah pandemi Covid-19.Â
Namun sejatinya, upaya penyelamatan harus dilakukan berkeadilan. Sebab, kepemilikan saham di Garuda bukan hanya pemerintah. Ada PT Trans Airways, perusahaan group Chairul Tandjung (CT), selaku pemegang saham mayoritas kedua sebesar 30,5 persen. Sisanya merupakan milik publik.
Sayangnya, pemerintah lebih banyak berkorban dalam upaya penyelamatan keuangan Garuda. Group CT harusnya legowo berbagi kesulitan dengan pemerintah untuk selamatkan BUMN Penerbangan Nasional ini dari kebangkrutan.
Di Parlemen, Anggota Komisi VI Darmadi Durianto menyarankan pemerintah memperkuat struktur permodalan Garuda melalui right issue. Konsekuensinya, struktur kepemilikan saham di Garuda harus berubah. Menurutnya, kebijakan ini lebih adil. CT Group harus mau ikut menambah modal di Garuda jika ingin tetap menjadi pemilik saham terbesar ke dua di Garuda. Atau sebaliknya, rela sahamnya terdilusi. "Kita dukung struktur modal Garuda diperkuat. Tapi caranya harus adil. Masa pemerintah yang memiliki saham 60 persen saja yang mengeluarkan dana sementara Group CT (Chairul Tandjung) sebagai pemilik saham terbesar tak melakukan apa-apa," katanya.Â
Pemerintah, telah memutuskan injeksi dana segar ke Garuda sebesar Rp 8,5 triliun melalui berbagai pinjaman bank. Pertama, melalui fasilitas kredit jangka panjang Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor Indonesia (LPEII) sebesar Rp 1 triliun. Sayangya, kebijakan ini kurang pas lantaran kondisi keuangan LPEII sendiri tengah sulit karena mengalami banyak kredit macet. Kedua, dukungan dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang merupakan badan layanan umum Kementerian Keuangan sebagai standby buyer penerbitan convertible ground (Obligasi konversi) sebesar Rp 5 tiliun dan juga dalam bentuk standby buyer obligasi rupiah Rp 2,5 triliun. "Tapi kalau cuma pemerintah saja yang berkorban, nggak adil dong. Nggak share pain (berbagi kesulitan) namanya," jelas dia.Â
Karena itu, Bandahara Umum Megawati Institute ini meminta Group CT sebagai pemegang saham 30,5 persen di Garuda Indonesia mesti legowo sahamnya terdilusi jika memang tidak memiliki dana untuk membantu keuangan Garuda. Sangat tidak adil jika pemerintah saja yang berkorban, sementara perusahaan lain tak berbuat apa-apa. "Saya pikir ini soal kedaulatan negara, kepentingan nasional harus diutamakan. Kita DPR setuju Garuda diinjeksi agar bisa hidup karena dia ini perusahaan alirline. Tapi injeksi dananya harus dengan cara yang benar dan berkeadilan," katanya.Â
Darmadi sendiri tidak habis pikir, pemilihan opsi right issue ini belum dapat dilakukan. Dia menduga ini terjadi karena group perusahaan taipan media itu, menolak opsi ini. Malah yang lebih lebih aneh, Group CT ini masih mendapat keistimewaan untuk melakukan opsi buy back saham Garuda di akhir periode kepemilikan saham dengan harga Rp 220-240 per lembar.
 "Jadi Group CT ini untung dua kali. Untung pertama, dia tidak tidak usah gelontorkan uang sekarang. Sahamnya tidak berkurang selama 3-5 tahun, tetapi bisa tetap kontrol perusahaan. Kemudian kedua, diakhir periode dia diberi kesempatan masuk lagi. Kalau sahamnya bagus diatas Rp 220-240 per lembar, karena Garuda terus membaik, dia kan pasti tetap beli karena untung. Tapi kalau harganya tinggal Rp 50 per lembar, ya dia pasti nggak mau beli, dibiarkan terdilusi saja. Kalau opsinya begitu, enak banget dia," sindir Darmadi.Â
Pemerintah tidak perlu ragu menempuh kebijakan right issue untuk menyelamatkan keuangan Garuda. Sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah bisa menempuh kebjakan strategis selamatkan BUMN Penerbangan Nasional ini. Pemerintah juga tidak perlu takut akan kehilangan dukungan dari CT Group. Sebab pada akhirnya, kebijakan right issue ini akan menguntungkan Garuda tanpa membebani keuangan negara.Â
 "Pemerintah tidak perlu memaksakan LPEII untuk memberikan kredit Rp 1 triliun karena keuangannya juga tengah bermasalah. Kemudian pemerintah juga tidak perlu pakai comfortible bound segala. Sudah pakai right issue saja sudah beres. Setelah right issue, komposisi saham akan berubah, Garuda bisa terbang lebih tinggi," tambah dia.Â
Di sisi lain, dia juga meminta manajemen Garuda berbenah dengan melakukan kebijakan-kebijakan inovatif yang mengarah kepada creatif destructive sebagaimana konsep yang dikembangkan oleh Joseph Shumpeter.. Joseph dalam konsepnya menegaskan pentingnya review operasionalnya. untuk mendapatkan gambaran apakah secara operasional sustain. Upaya penyelematan bisa dilakukan dengan memastikan operasional Garuda bisa tetap sustain. "Jadi harus ada transformasi total. Misal pilot, jangan lagi minta di Hotel Kelas V. Di hotel kelas Ibis saja sudah cukup. Jadi ada transformasi total, ada transformasi budaya juga. jadi dlur pikiran harus dibuka, model bisnis harus diubah. Â Jika creatif destructive dilakukan, baru bisa hidup Garuda itu," tambah dia. KAL