Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Remake Bertemu Ekspektasi, Refleksi dari A Business Proposal Indonesia

9 Februari 2025   22:27 Diperbarui: 9 Februari 2025   22:27 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era ketika drama Korea memiliki pengaruh besar di Indonesia, kehadiran A Business Proposal versi Indonesia tentu menarik perhatian. Namun, alih-alih menjadi perayaan, film ini justru menuai banyak kritik. Mulai dari jumlah penonton yang rendah, rating yang anjlok, hingga kontroversi di balik layar, semuanya membentuk narasi yang tak terhindarkan. Ekspektasi dan realitas memang sering kali bertabrakan.

Sebagai pencinta drama Korea, dari sudut pandang awam, saya melihat ada hal menarik dari respons publik terhadap film ini.

Antara Remake dan Adaptasi: Kesalahan dalam Pemahaman Konsep

Dalam dunia perfilman, ada dua pendekatan ketika membawa sebuah cerita dari satu budaya ke budaya lain, remake dan adaptasi.

  • Remake berarti membuat ulang cerita dengan tetap mempertahankan alur, karakter, dan elemen utama dari versi aslinya. Perubahan hanya dilakukan dalam penyutradaraan, pemilihan pemeran, bahasa yang digunakan, dan pemakaian teknologi. Remake sering kali diharapkan untuk setia pada materi sumber, karena tujuannya adalah menyajikan kembali kisah yang sudah dicintai dengan nuansa yang segar.
  • Adaptasi, di sisi lain, lebih fleksibel. Ia bisa mengambil inspirasi dari cerita asli, tetapi dengan perubahan yang lebih bebas agar sesuai dengan budaya atau konteks yang berbeda.

Dari kedua pendekatan di atas, A Business Proposal lebih tepat dikategorikan sebagai remake karena versi Indonesia mengambil dari drama Korea, bukan langsung dari webtoon atau novel aslinya.

Salah satu kunci keberhasilan remake adalah memahami esensi dari karya aslinya. Dalam kasus A Business Proposal versi Indonesia, tantangannya bukan hanya menampilkan cerita yang sudah dikenal, tetapi juga menjaga elemen yang membuatnya dicintai. Ini bukan sekadar soal meniru, melainkan soal menangkap jiwa dari versi aslinya dan menerjemahkannya dengan baik ke dalam konteks lokal.

Namun, dalam sebuah wawancara, pemeran utama mengungkapkan bahwa dia hanya menonton satu episode drama aslinya dan memutuskan untuk membangun karakter dengan versinya sendiri. Sikap ini memicu reaksi beragam. Sebagian menganggapnya sebagai upaya kreatif yang sah, tetapi lebih banyak yang melihatnya sebagai kurangnya penghormatan terhadap materi sumber dan ekspektasi penggemar.

Di titik ini, muncul pertanyaan: apakah remake seharusnya memberikan kebebasan penuh bagi aktor untuk menafsirkan ulang karakter ataukah justru harus lebih setia pada aslinya?

Ekspektasi Penonton dan Tantangan Akting

Ketika sebuah film atau serial memiliki basis penggemar yang kuat, ekspektasi mereka menjadi faktor besar dalam menentukan keberhasilan. Penggemar A Business Proposal bukan hanya menyukai ceritanya, tetapi juga bagaimana para aktor di versi Korea membawakan karakternya dengan ekspresi khas, chemistry yang kuat, serta humor yang mengalir alami.

Dalam remake, tantangan terbesar aktor bukan hanya membangun karakter, tetapi juga meyakinkan penonton bahwa versi mereka tetap menarik, meski tidak sepenuhnya sama dengan aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun