Mohon tunggu...
Dita Utami
Dita Utami Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga

ibu rumah tangga yang peduli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Jangan Pepesan Kosong

11 Desember 2020   21:07 Diperbarui: 11 Desember 2020   21:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zaman berganti dan banyak yang berubah di dunia ini, tak terkecuali kita dan prespektifnya. Jika 30 tahun lalu kita bisa dengan tenang memberikan selamat kepada teman atau kerabat yang berbeda agama, kini tidak lagi. Kini, tindakan itu punya prespektif berbeda dengan bermacam alasan.

Ada kisah menarik di sebuah media yaitu cerita soal ketua OSIS sebuah sekolah negeri. Ketua OSIS sendiri adalah muslim, namun dia punya sikap sangat toleran karena keluarganya membentuknya demikian. Dalam tulisan di media itu disebutkan bahwa dia merasa gelisah karena kehidupan sekolahnya sering bersikap kontras.

" Dalam pelajaran yang kami terima seringkali kita harus bersikap toleran dengan yang berbeda keyakinan. Kami juga punya beberapa pelajaran yang memperkuat itu. Namun saat pelajaran usai dan bel istirahat atau pulang berbunyi, keadaannya akan lain," katanya dalam kisah tadi.

Apa yang dia maksud ?

Ternyata, ajaran toleransi dalam pelajaran yang dia terima agak sulit diterapkan di lingkungannya.Pancasila dan kebinekaan yang ada dalam pelajaran sering hanya pelajaran yang harus mereka lampaui namun tanpa makna. " Bubar sekolah banyak anak yang tidak mau menyapa atau berteman dengan si G karena dia beragama Kristiani. Atau dengan si H karena beragama Hindu," katanya.  Dia juga bercerita jika sering dia harus melerai dua orang atau lebih karena sebagian dari mereka tidak mau bermain bersama atau melakukan tugas kelompok karena ada salah satu orang yang berbeda keyakinan. Sebagai ketua OSIS dia sudah berusaha untuk menerangkan bahwa kedudukan mereka sama sebagai murid dan warga negara, namun menurutnya, itu tidak berarti apapun alias sulit diterima oleh para murid.

" Saya merasa sejak masuk sekolah ini sampai saat ini, toleransi hanya ada di buku pelajaran, dan berakhir pada istirahat dan pulang. Toleransi yang sebenar-benarnya sudah tidak ada,"katanya.

Dia sendiri punya keluarga besar yang punya unsure berbeda keyakinan. Ada beberapa tante dan omnya yhanng berbeda agama dari pihak ayahnya yang bersepuluh bersaudara. Sedangkan dari keluarga besar ibunya, semuanya adalah muslim. Namun dia mengatakan bahwa kenyataan itu tidak juga menjamin seseorang mengenal dan memperlajari agama dengan baik, sehingga dia mengenal toleransi dengan baik juga. "Ada beberapa murid paham toleransi meski keluarganya tidak ada yang berbeda keyakinan, namun lebih banyak murid yang memahami agama dengan sempit," katanya.

Kenyataan ini memang sangat mencengangkan bagi kita, karena dengan begitu banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan menyangkut toleransi. Jangan sampai toleransi dianggap sebagai pepesan kosong belaka, manis diucapkan tapi susah dilakukan. Dunia pendidikan seharusnya memberikan gambaran agama dengan prespektif yang lebih luas karena pada hakekatnya agama adalah mempersatukan dan bukan untuk bercerai berai.

Saya kira kegelisahan seorang ketua OSIS SMP di Jakarta ini bisa menjadi renungan kita bersama untuk memperbaiki hal-hal yang harus kita perbaiki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun