Mohon tunggu...
Dita Utami
Dita Utami Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga

ibu rumah tangga yang peduli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berhenti di Kamu, Damailah Negeri

3 Mei 2019   11:15 Diperbarui: 3 Mei 2019   11:24 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hoax makin membawa dampak negatif dalam kehidupan. Bukan lagi di dunia maya, namun sudah secara riil dirasakan di dalam kehidupan bermasyarakat. Terakhir pada Rabu (23 April 2019) lalu, bentrok yang terjadi antara angkot dan ojek daring (online) di Terminal Laladon, Bogor, Jawa Barat, terjadi hanya karena alasan sepele. 

Sebuah informasi hoax yang beredar di antara kedua belah pihak, memicu mereka saling menyerang. Akibatnya, tercatat empat unit angkot dirusak oleh massa ojek daring yang melempar batu dan memukur kaca mobil menggunakan kayu. Remeh ya?

Kalau sudah begitu, siapa yang rugi? Mungkin sekarang bukan kita. Tapi siapa yang tahu jika suatu saat dampak negatif hoax itu bisa sampai pada kita. Bukan karena kita tak sanggup melawan sebaran informasi hoax. Namun taruhlah jika Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 800 ribu situs di Indonesia terindikasi sebagai penyebar informasi palsu (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech), maka betapa lemahnya kita dikepung oleh sejumlah 'serangan' yang tak kita sadari itu setiap harinya.

Namun janganlah kecil hati. Masih ada upaya kita untuk menangkalnya. Kuncinya jangan berharap kita bisa terhindar begitu saja dari ratusan ribu situs penyebar konten negatif itu. Rasanya hal itu sulit tercapai karena seberapa mampu kita cukup waktu untuk mendeteksinya. 

Berdasarkan penelitian DailySocial dan Jakpat Mobile Survey Platform, hanya 44,19 persen dari 2023 pengguna smartphone di Indonesia, punya kepiawaian dalam mendeteksi informasi hoax. Informasi hoax itu ditemukan di media sosial seperti Facebook  sebesar 82,25 persen, WhatsApp (56,55 persen) dan Instagram 29 persen.

Ketika menerima sebaran hoax ini, DailySocial melihat bahwa mayoritas responden yaitu 51,03 persennya memilih berdiam diri dan tidak percaya dengan informasi yang hoax itu ketika menerimanya. Berdasarkan sikap mereka yang merespons sebaran hoax ini alangkah lebih baik untuk tidak lagi berdiam diri. Tetapi ada penangkal yang sangat mungkin untuk kita lakukan secara individu. Artinya, tanggung jawab itu harus benar-benar ada pada kita. Mulailah dari kita lebih dulu yaitu dengan secara aktif untuk tidak menjadi bagian penyebar hoax itu.

Langkah itu adalah dengan menghentikan informasi hoax itu di pihak kita. "Berhentilah di kamu, jangan berhenti di orang lain", demikian kira-kira jargon pribadi yang bisa dipakai untuk membantu penangkalan informasi hoax secara luas. 

Upayakan untuk sedikit mungkin menekan tombol forward guna meneruskannya ke pihak lain, meskipun kita sendiri bermaksud untuk sekadar menunjukkan sumber informasi hoax itu kepada orang lain dan mengajak orang tidak percaya atas informasi hoax tersebut.

Saat ini, langkah membatasi fitur forward sudah dilakukan oleh WhatsApp. Masa kita tidak? Alangkah lebih baik kita langsung menghapus informasi itu jika dirasa hoax. Maka, satu langkah kecil disumbang oleh setiap orang yang berada di dalam arus informasi itu. Upaya ini sepertinya tidak sangat berarti apa pun dalam waktu dekat, namun sangat besar dampaknya di masa yang akan datang. 

Bayangkan apabila informasi hoax itu tak pernah bisa tersebar atau tertahan persebarannya karena masing-masing telah melakukan tugasnya meski dalam taraf sangat personal. Anda bersedia ikut berperan agar negeri ini damai? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun