Mohon tunggu...
Dion DB Putra
Dion DB Putra Mohon Tunggu... profesional -

Dion DB Putra adalah wartawan. Dion lahir di Ende, salah satu kota bersejarah di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai detik ini masih belajar membaca dan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Nyata! Om Bas Bergelantungan di Roda Pesawat Kupang-Darwin

16 Februari 2013   23:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:12 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13610053031477858534

Bas Wie, anak yatim piatu, bekerja sebagai koki di bandara. Setelah Jepang kalah perang. Ia hanya ingin naik pesawat dan pergi. "Saat itu, karena masih kecil, sungguh beta sonde tau kalau ada negeri lain di luar sana," kata Bas jujur di usianya yang sudah melewati kepala tujuh.

Saat itu Bas menyelinap, dan mencoba mencari pintu pesawat, tetapi semuanya terkunci. Hanya bagian roda lah yang kosong. Ia pun hinggap di situ.

Saat pesawat meninggalkan landasan pacu di Penfui, baru lah garis hidup atau mati menjadi begitu dekat dengan Bas. Tarikan balik roda pesawat, saat pesawat lepas landas membuatnya kembali panik. Ia nyaris remuk dimakan roda pesawat DC-3. Bas pun bergeser mencari posisi aman yang paling mungkin. Ia pun meringkuk di bagian pesawat yang dalamnya sekita 20 centimeter, dan tingginya sekitar 51 centimeter. Atau tepat diantara tengki minyak dan pipa pembuangan. Di tempat itu panas dan dingin menjadi satu. Selama tiga jam ia bertahan di sana.

Langit sudah gelap, saat pesawat DC-3 mendarat di markas RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin. "Saat saya menyalakan senter, dan sorot ke atas, ada tubuh seorang bocah di sana. Ia sudah tidak sadarkan diri lagi, setengah tubuhnya terbakar parah, dan di sisi tubuh yang lain membeku," tutur Jim Fleming, pensiunan air vice-marshal RAAF. Saat itu Jim memang yang bertugas untuk memeriksa pesawat DC-3 milik angkatan udara Belanda yang bermalam di sana.

"Kedua bola matanya berputar, dan yang tampak hanya dua bola mata putih, saat itu kami berpikir bocah ini sudah mati," kata Jim mengenang kejadian malam itu. Meskipun ia terluka parah di bagian perut, Bas bisa diselamatkan. Hingga hari ini Jim yang akrab dengan sekian jenis pesawat, masih tak percaya bahwa Bas bisa bertahan hidup. Ia pulih setelah dirawat di Australia Utara selama tiga bulan.

Terancam dideportasi


Setelah dinyatakan sembuh, Bas oleh pemerintah setempat hendak dikirim pulang ke Kupang. Menteri urusan Imigrasi kala itu, Arthur Caldwell, beteriak kencang untuk memulangkan Bas, namun keputusannya dihujani protes luar biasa oleh warga Darwin. Masyarakat Darwin, menggangap anak kecil dengan keberanian semacam itu, tak patut dideportasi. Akhirnya Bas Wie pun ditampung dan menjadi tanggungan Negara. Tetapi setiap tahunnya Bas harus memperbarui ijin tinggal di sana. Kebijakan rasial itu memang belum lah dihapus. Untuk itu Bas setiap tahunnya memang harus menghitung apakah akan tetap tinggal atau dideportasi.

Keputusan final baru ada pada tahun 1958 Bas resmi menjadi warga Negara Australia. Penetapan ini memang melengkapi kebahagiaannya, sebab pada Bulan Desember tahun sebelumnya (1957), Bas telah menyunting nona manis dari Perth. Di usia 24 tahun, Bas Wie `anak Kupang' menikah dengan Margaret.

Pertemuan keduanya, menurut Margaret atau kini dikenal sebagai Mrs.Wie sangat berkesan. Saat bertemu pertama kali Margaret baru berusia 15 tahun, dan baru mulai bekerja sebagai junior draftswoman, sedangkan Bas Wie bekerja sebagai internal mail officer di Departemen Pekerjaan dan Perumahan.

"Saat itu ia datang ke meja saya sambil membawa surat, personal delivery," kata Margaret mengenang dan ia kemudian melanjutkan, "menurut saya, itu memang cinta dalam pandangan pertama." Delapan belas bulan kemudian Bas dan Margareth menikah di sebuah gereja kecil tempat Bas kecil bekerja sebagai putra altar (ajuda).

Penggalan kisah hidup Bas Wie mendunia di tahun 1978, saat Bas dan keluarganya diangkat dalam program `This Is Your Life'. Kisah hidupnya tak hanya mendunia, tetapi sudah menjadi bahan sejarah museum Australia Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun