Pemprov DKI Jakarta berencana untuk tidak menambahkan program RPTRA pada tahun 2019. RPTRA adalah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, sebuah program yang dicanangkan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta sebelumnya yaitu Ahok-Djarot. Pemprov menganggap jumlah RPTRA di Jakarta sudah melampau target. Disisi lain, pemprov DKI tidak Mau melakukan pembebasan lahan untuk RPTRA karena membutuhkan waktu lama dan anggaran yang besar (Kompas.com).
Pemprov meminta Anies-Sandi untuk memperbanyak RTH (Ruang Terbuka Hijau) karena dinilai masih sangat dibutuhkan. Hal ini juga disampaikan oleh Anies bahwasan nya ia ingin menambah jumlah ruang terbuka hijau dan ruang tebuka biru di Jakarta (Merdeka.com). namun saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Anies mengatakan belum mengetahui mengenai rencana penghentian program tersebut dan akan segera dikomunikasikan (Jawapos. com).
Seperti biasa, hal lain tampak disampaikan oleh Wakil Gubernur, Sandiaga Uno yang menginginkan program RPTRA tetap dilaksanakan. Bahkan jika pemprov tidak ingin menangani, ia akan berusaha mencari pemodal meski harus menggandeng pihak swasta. Menurutnya, penghentian program RPTRA merupakan suatu kemunduran bagi pemerintahan DKI Jakarta (Kompas.com).
bukanlah suatu hal yang aneh jika Anies dan Sandi memiliki pendapat yang berbeda dalam menghadapi suatu kebijakan, namun bukan itu yang ingin saya soroti. Penghentian program RPTRA ini sebenarnya sudah diramalkan oleh Djarot. Ia sempat menginginkan ada jaminan bahwa program RPTRA akan dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya yaitu Anies-Sandi, karena program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat (Kompas.com). Namun hal ini tidak terwujud. Beberapa pihak juga berpendapat bahwa penghentian program ini bernilai politis (Beritasatu.com).Â
Bisa saja, keputusan pemprov DKI untuk menghentikan program RPTRA ini dikarenakan keinginan dari Anies karena tidak menguntungkan bagi dirinya. Karena jika alasan menghentikan program ini terkait lahan yang tidak ada, RTH juga membutuhkan lahan. Dan jika dikatakan bahwa jumlah RPTRA yang dibutuhkan warga Jakarta sudah cukup, kenapa masih ada warga yang melapor untuk dibuatkan RPTRA? Jika benar karena alasan politis, sunguh sangat disesalkan. RPTRA itu untuk anak dan pantaskah anak menjadi korban politik?