Mohon tunggu...
Dini Erian
Dini Erian Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Habis-habisan Menggenjot Ekspor

22 Oktober 2018   16:57 Diperbarui: 22 Oktober 2018   16:49 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sedemikian gaduh isu impor, banyak yang lupa bahwa Indonesia pun mengekspor beragam komoditas dengan volume dan nilai transaksi yang tak sedikit. Pencapaian inilah yang semestinya juga ramai dibicarakan.

Negara tujuan ekspor kita pun tersebar luas ke penjuru dunia. Cina, Amerika Serikat, dan India merupakan tiga negara mitra dagang kita yang terbesar. Indonesia memasok baja, batu bara, produk tekstil, minyak sawit, dan komoditas lainnya ke negara tersebut.

Berdagang dengan negara mitra tak seperti berjualan di pasar atau toko swalayan. Para eksportir yang menjual barangnya ke konsumen di negara lain mesti mengikuti aturan main yang berlaku di negara tujuan. Mereka harus patuh dengan standar baku prosedur dan membayar bea masuk sesuai ketetapan. Sebagian negara mematok bea masuk yang tinggi. Sejumlah lain memberlakukan standar produk impor yang tinggi demi melindungi warga negaranya dari potensi kerugian.

Di sinilah Kementerian Perdagangan berperan penting. Instansi tersebut mengemban tugas besar, yakni memastikan arus perdagangan luar negeri senantiasa lancar, sekaligus mengupayakan peningkatan ekspor. Bagaimana caranya? Salah satunya melalui perjanjian perdagangan.

Tak banyak yang peduli betapa besar manfaat perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan negara mitranya. Padahal, dengan menjalin kerja sama antar pemerintah, kita dapat mengekspor dengan lebih leluasa. Apalagi jika perjanjian tersebut bersifat komprehensif, mencakup perdagangan barang, jasa, dan investasi.  

Contohnya saja Regional Comprehensive Economic Partnership, perjanjian ekonomi tersebut bakal diberlakukan melingkupi kawasan Asia Tenggara dan enam negara mitranya. Seluruh negara terlibat mengajukan penawaran produk, saling bernegosiasi untuk menyepakati besaran tarif bea masuk yang ringan, mengatur keamanan arus perdagangan sesuai kepentingan masing-masing negara. Sebab setiap negara mewakili kepentingan penduduknya.

Hasil pemberlakuan perjanjian dapat dilihat pada perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat. Saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal mengevaluasi ulang pemberian Generalized System of Preferences dan menaikkan tarif bea masuk produk baja, eksportir Indonesia kalang kabut sebab sebagian besar dari mereka memanfaatkan fasilitas tersebut. Apa jadinya bila GSP dicabut? Para eksportir harus mengeluarkan biaya besar untuk membayar bea masuk.

Namun berkat negosiasi Menteri Perdagangan yang ulet, akhirnya pemerintah AS mengecualikan produk baja Indonesia dari pemberlakuan tarif bea masuk baru. Bahkan Enggar melobi agar importir tekstil AS membeli produk dari Indonesia, dengan target penguasaan pangsa pasar yang kini dirajai Cina.

Maka wajar bila Kemendag habis-habisan berusaha menyelesaikan berbagai perundingan: Indonesia-European Uninon CEPA, Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-EFTA CEPA, dan berbagai perundingan perjanjian dagang lainnya. Sebab semakin cepat disepakati, maka semakin cepat pertumbuhan ekspor Indonesia dapat didongkrak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun