Mohon tunggu...
Dinda Putri Akmal
Dinda Putri Akmal Mohon Tunggu... Lainnya - Hello!

Let's to be a friends

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Covid -19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia

15 Agustus 2020   23:50 Diperbarui: 16 Agustus 2020   00:01 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terhitung dari 2 pekan terakhir bulan Januari 2020 segenap komponen bangsa mulai resah. Dan tercekam rasa takut, karena mulai merebaknya wabah corona virus desease 2019 (covid-19). Keresahan tersebut sangat manusiawi. Karena, jika pandemi covid-19 tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan berdampak fatal terhadap kematian manusia, dan mulai lumpuhnya perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, wacana publik pun mulai dibanjiri diskursus tentang dua isu tersebut. Sementara itu, apa pelajaran yang dapat dipetik dari musibah covid-19 terkait praktik demokrasi di Indonesia, pada khususnya, dan tata kelola negara bangsa, pada umumnya, relatif belum mendapat perhatian secara seimbang dari para akademisi.

Kekhawatiran ini cukup beralasan, mengingat praktik politik uang dalam penyelenggaraan pilkada sudah menjadi rahasia umum. Lebih jauh dari itu, bila disimak sejumlah kasus korupi kepala daerah, utamanya yang ditangani KPK, juga mengindikasikan adanya keterkaitan dengan penyalahgunaan anggaran negara. Khususnya, dana bantuan sosial, untuk kepentingan pilkada. 

Oleh karena itu, bila tidak dikelola secara ketat dan tepat, tidak kecil kemungkinan kecenderungan yang sama pun akan berlaku dalam pelaksanaan program bantuan sosial covid-19.Akhirnya, penting untuk ditegaskan di sini, uraian singkat di atas bukan sama sekali bermaksud untuk membangun perspektif pesimistik, tetapi justru sebaliknya. Dengan adanya diskursus publik seperti ini, diharapkan akan merangsang sensitivitas dari pihak-pihak terkait untuk melakukan refleksi atas konsep dan praktik demokrasi di Tanah Air sejauh ini. Dengan demikian, komitmen "NKRI harga mati" dan "daulat rakyat" yang diamanahkan melalui pilpres, pileg, dan pilkada, tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, tetapi terwujud dalam kenyataan.

Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan. Kita pada dasarnya masih akan menghadapi problematika demokrasi yang sama.

 Pertama, konsolidasi civil society yang tetap masih belum maksimal. Secara umum kalangan ini masih terus bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif. Termasuk adanya gangguan “perang proxy” yang melibatkan para buzzer untuk saling serang dan juga membungkam kritik dan mencanangkan satu versi kebenaran.

 Kedua, munculnya kebijakan bertendensi oligarki, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Beberapa kalangan mengkritik kebijakan ini terutama karena memberikan peluang terjadinya sebuah mal-adminsitrasi yang tidak bisa diawasi dan bahkan dituntut baik oleh lembaga negara sendiri, apalagi oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan ini memberikan peluang bagi siapa saja untuk melakukan pemanfaatan keuangan negara hanya atas dasar itikad baik, yang secara riil bepotensi menyuburkan praktik kongkalikong. Kedua hal itu sudah cukup untuk menjadi alasan penolakan kebijakan ini karena berpotensi dimanfaatkan oleh para oligarki.

Ketiga, masih terus lemahnya checks and balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era Jokowi yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung penguasa. Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai merebak, dan masih banyak problem lain nya.
Dengan berbagai situasi politik dan pemerintahan di atas (dan tentu saja ditambah ekosistem politik pada masa pandemi), tentu mudah terlihat bahwa esensi politik kita belum mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.

Pilkada ditengah tengah Pandemi COVID-19.

pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Seperti yg kita ketahui bersama, awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September untuk memilih 9 gubenur, 224 bupati, dan 37 walikota secara serentak. Ini di jelaskan Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang. Sebelum Munculnya COVID-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.
Karena pandemi COVID-19 ini, KPU akhirnya mengeluarkan surat keputusllan yang mengatur penundaan Pilkada 2020. Penundaan ini memberikan ruang bagi calon independen untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon perseorangan.
Namun masalahnya, dampak positif itu tidak terlalu signifikan mengingat tenggat waktu perubahan hanya bergerser tiga bulan. Perubahan jadwal ini dianggap dipaksakan mengingat kenaikan jumlah kasus positif COVID-19 belum juga melandai dan usai.


Kelonggarang Perpuu justru menimbulkan persoalan baru, yaitu; ketidakpastian bagi penyelenggara dan juga besarnya kemungkinan KPU akan kesulitan menangani Pilkada di massa Covid-19 ini.


Kemungkinan Malapraktik
Malraktik pada pemilu adalah sebuah tindakan pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, legal atau ilegal. Dalam situasi normal saja, problem ini sering terjadi, apalagi dalam situasi tidak normal seperti saat ini.
persoalan ini menjadi salah satu isu krusial dalam sejarah pemilu di Indonesia karena basis data pemilih selalu berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun