Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Macao, Sebuah Kisah di Balik Nyanyian

17 Desember 2017   22:51 Diperbarui: 22 Desember 2017   10:23 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macau sebagai Kota Mimpi. Saya pun pernah bermimpi mengunjungi kota itu sejak sebelas tahun yang lalu. (foto: website WT Partnership)

Macau Dream, Memori Sebelas Tahun Lalu

Berbicara tentang Macau, ingatan saya akan kembali pada masa sebelas tahun lalu, tatkala saya baru selesai menempuh kuliah S1. Bukan karena saya pernah menginjakkan kaki di negeri bekas jajahan Portugis itu, bukan. Tapi justru karena Macau itu erat kaitannya dengan bahasa Portugis, maka mau tak mau kisah pencarian jati diri saya pada masa-masa kuliah--halah :p--kembali terkuak. 

Mau nggak mau pun saya harus men-scroll kembali kumpulan foto-foto lama saya yang terserak entah di facebook entah di friendster :D. Jadul sekali saya ya...

Jadi, perkuliahan saya di jurusan bahasa Prancis menawarkan tiga bahasa lainnya yang masih satu rumpun sebagai mata kuliah pilihan: Italia, Spanyol dan Portugis. Entah mengapa, pilihan saya jatuh pada bahasa Italia dan Portugis. Yang saya ingat waktu itu, mata kuliah bahasa Spanyol selalu penuh, sedangkan bahasa Italia dan bahasa Portugis tidak terlalu banyak peminatnya. 

Apalagi, pengajar bahasa Portugis seorang native speaker yang langsung didatangkan dari tanah kelahiran sang pemain bola dari klub Real Madrid, Cristiano Ronaldo. Bukan cowok ganteng seperti Ronaldo, bukan :D. Melainkan seorang wanita yang kalem dan keibuan, sebut saja namanya Maria.

Bahasa Portugis, yang masih satu rumpun dengan bahasa Italia dan Spanyol, mempunyai banyak kemiripan. (foto sumber: website The Brasilians)
Bahasa Portugis, yang masih satu rumpun dengan bahasa Italia dan Spanyol, mempunyai banyak kemiripan. (foto sumber: website The Brasilians)
Saat itu, masing-masing mata kuliah bahasa pilihan getol-getolnya mempromosikan budaya dan negeri mereka. Tidak ketinggalan mata kuliah bahasa Portugis yang mempromosikan beasiswa kursus bahasa. Entah saya lupa, apakah ke Portugal, atau Macau. Yang saya ingat, Maria memang pernah menyebut-nyebut bahwa kami yang berprestasi juga akan dikirim ke Macau. 

Entah itu untuk suatu program beasiswa bahasa, atau kunjungan studi budaya saja. Yang jelas, saya ingat Maria merekrut kami yang berminat untuk membentuk sebuah grup menyanyi dalam bahasa Portugis. Maria memang suka menyanyi, dan salah satu cara efektif untuk mengajarkan bahasa asing kepada siswa memang antara lain melalui nyanyian. 

Saya yang suaranya semberini pun :p, dengan pede ikut saja kelompok nyanyi tersebut, karena yang dilihat Maria bukan bagusnya suara kita, melainkan antusiasme dan keaktifan kita. Selain itu, keinginan saya untuk melanjutkan studi keluar negeri semakin menggebu setelah saya lulus kuliah S1. Pokoknya peluang apa pun untuk pergi keluar negeri, entah itu kursus singkat, apalagi studi jangka panjang, saya coba saja. Termasuk, peluang untuk ke Macau.

Beginilah kira-kira penampilan grup siswi penyanyi dari Macau yang mengenakan baju tradisional khas Macau. (foto sumber: alamy stock photo)
Beginilah kira-kira penampilan grup siswi penyanyi dari Macau yang mengenakan baju tradisional khas Macau. (foto sumber: alamy stock photo)
Entah bagaimana ceritanya (karena sudah lama sekali, tahun 2006 tepatnya), Maria membawa saya dan dua orang teman siswi lainnya, pergi studi banding. Bukan ke Macau, bukan. Tapi malah ke Singapura. Dan, di Singapura itulah, kami bertemu dengan grup penyanyi siswi-siswi dari Macau, lengkap dengan gaun tradisional nan cantik yang khas: blus putih lengan panjang dengan jahitan benang biru di tepi kerah dan tepi lengan, rok panjang megar nan mengembang warna hitam beraksen pita merah atau biru di bawahnya, serta rompi yang bentuknya menyerupai korset dengan ikatan tali.

Dari situlah, saya semakin ingin pergi mengunjungi Macau. Tapi kata mendiang ibu saya, apa yang mau dilihat di Macau, karena kota itu terkenal sebagai tempat judi saja. Nggak ada enak-enaknya buat belajar, begitu kata beliau. Itu kata almarhumah ibu sekitar sebelas tahun yang lalu. Mungkin saja sekarang Macau sudah banyak berubah. Dan entah bagaimana, saya malah mendapat beasiswa studi ke Eropa.

MACAU KINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun