(Sebelum masuk lebih dalam, penulis menekankan bahwa yang tertulis adalah artikel opini. Penulis lebih baik mengakui lebih dahulu ketimbang dituduh belakangan).
Hari ini adalah sidang pamungkas kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso. Agenda sidang yang diundur hingga pukul 13.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah putusan vonis setelah drama sidang yang panjang hingga 31 episode. Dituntut pasal pembunuhan berencana dengan sidang yang dinilai membingungkan mengerucutkan 2 pilihan, 20 tahun bui atau bebas.
Pengerucutan ini bukan tanpa alasan. Saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan mempunyai keterangan yang berbeda-beda dan membingungkan baik dari kubu Jaksa Penuntut Umum dan Kuasa Hukum Jessica. Terlebih mengenai kesaksian ahli tidak dilaksanakannya otopsi menyeluruh terhadap jasad Mirna. Ahli Forensik dan Toksikologi RSCM, dr Budi Sampurna beralasan bahwa tidak dilaksanakannya otopsi menyeluruh karena keluarga Mirna tidak menyetujui. Sehingga tim dokter hanya memeriksa dan mengambil sampel dari beberapa organ tubuh Mirna (tempo.co, agustus 2016). Sedangkan menurut ahli kedokteran forensik Universitas Indonesia, dr Djaja Surya Atmadja dan ahli patologi forensik Australia, Profesor Beng Beng Ong, penyebab kematian Mirna belum dapat dipastikan karena tidak ada pemeriksaan menyeluruh. Padahal untuk menjerat seseorang, apalagi dengan pasal pembunuhan berencana, haruslah berhati-hati dan cermat agar tidak muncul ‘korban baru’ dalam kasus yang bersangkutan. Sedangkan beberapa pekan jelang sidang putusan, keluarga Mirna menuntut hukuman seadil-adilnya atas kematian Mirna. Bahkan mereka minta hukuman maksimal seperti hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Secara pribadi, dengan empati terhadap kedua belah pihak, penulis menilai bahwa tuntutan hukuman mati atau seumur hidup dirasa sulit terwujud jika pembuktiannya ‘setengah-setengah’. Apalagi jika hanya berdasar pada alasan siapa yang menguasai kopi sesaat sebelum kematian Mirna, hukuman maksimal hanya jadi mitos. Vonis 20 tahun mungkin akan menjadi pertanyaan bagi kedua belah pihak mengapa hakim menjatuhkan hukuman yang ringan. Apakah ada keraguan dari Yang Mulia? Sedangkan vonis bebas tentu masih akan menyisakan misteri kematian Mirna.
Profesionalitas hakim dipertaruhkan dalam putusan kasus ini. Vonis yang dijatuhkan haruslah didasarkan pada pembuktian dan keadilan, bukan pada opini masyarakat atau uang yang mengalir. Hakim tidak boleh takut terhadap kebenaran. Jika pembuktian dalam menjerat Jessica dirasa terlalu lemah, vonis bebas bagi Jessica bisa terwujud. Penulis tidak ingin mendahului hakim. Hanya saja putusan yang dijatuhkan haruslah realistis dan tidak berdasar pada logika praktis.
Mayat Mirna Tidak Diotopsi, Ini Alasan Dokter Forensik RSCM
Hakim Singgung Soal Kemungkinan Otopsi Mirna, Ini Tanggapan Jaksa