Mohon tunggu...
Dimas Agus Hairani
Dimas Agus Hairani Mohon Tunggu... Administrasi - Man Jadda Wajada

S1 Manajemen Unesa | S2 Sains Manajemen Unair | Part of LPDP_RI PK 163

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Al Ilmu Nuurun: Ilmu adalah Cahaya

29 November 2017   01:00 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:35 6984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

qooluu sub-haanaka laa 'ilma lanaaa illaa maa 'allamtanaa, innaka antal-'aliimul-hakiim, "Mereka menjawab, Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 32). Tiadalah manusia itu mengetahui melainkan dari apa yang Tuhan titipkan kepadanya, sehingga ilmu juga merupakan sebuah amanah. Layaknya amanah, maka tugas penerima mandat adalah menyampaikannya. Bahkan seorang ulama bernama Ibnu Ruslan pernah mengatakan, “fa’alimu bi ‘ilmihi lam ya’malan, mu’adzabun min qobli ubbadil watsan” yang artinya kira-kira ketika ada orang berilmu tidak mengamalkan (ilmunya), (maka) dia akan dihukum sebelum orang-orang yang menyembah berhala.

Apa jadinya orang yang baru diberikan telepon genggam tanpa sebelumnya pernah mengetahui benda tersebut?, tentu dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan, atau justru coba-coba dengan modal peruntungan. Ketika ada sebuah panggilan masuk bisa jadi dia tekan tombol hijau atau merah, tak tahu mana yang dia tekan. Berbeda dengan orang yang sudah tahu untuk menekan tombol hijau ketika harus mengangkat panggilan masuk, dia lebih bisa menggunakan telepon tersebut dengan maksimal. Ya itulah perumpamaan kecil orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Perumpamaan yang sangat sederhana, bagaimana dengan aktivitas yang lainnya, seperti pengeboran minyak, membuat pesawat, atau membuat gedung bertingkat?, tidak mungkin orang melakukan hal tersebut jika dia tidak memiliki pengetahuan. Oleh karena itu kenapa Tuhan perintahkan kita tahu dulu baru berbuat. Berilmu dulu baru bertindak. Allah telah sampaikan dalam pertunjukNya, "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 36). Oleh karena itu benarlah ungkapan Nabi Muhammad, apabila kita ingin mendapatkan kebaikan baik dunia atau akhirat atau keduanya, maka caranya adalah dengan ilmu.

Maka ketika seseorang tersebut memiliki ilmu, hendaknya ilmu itu disampaikan, melalui suatu amalan dengan harapan dapat membawa kebermanfaatan. Tentunya ilmu yang disampaikan tidak semerta-merta diceramahkan layaknya orang yang beretorika. Tetapi penuh dengan kebijaksanaan agar penyampaiannya dapat diterima.

Sebelum pembahasan lebih lanjut, akan lebih baik kita ketahui dulu apa itu ilmu. Ilmu berasal dari bahasa arab ilm (ya’lamu, alima) yang memiliki terjemahan tahu atau mengetahui. Menurut beberapa ahli, pengetahuan adalah kumpulan hal-hal yang diketahui manusia yang didapatkan dari pengalaman baik dari melihat, berfikir, membaca, dan sumber informasi yang lainnya. Sedangkan ilmu adalah rangkaian dari pengetahuan yang tersusun dan membentuk suatu bidang tertentu. Sebagai contoh pengetahuan Newton melihat apel yang jatuh. Dari proses pengalaman Newton, pengelihatan dan pemikiran Newton terbentuk suatu ilmu gravitasi. Dengan ilmu gravitasi tersebut dapat kita rasakan manfaatnya hingga sekarang, seperti adanya gedung menjulang atau pesawat terbang.

Ilmu mempermudah pekerjaan manusia. Perumpamaan orang yang memiliki ilmu adalah orang yang berjalan menuju suatu tempat baru dengan bekal sebuah peta. Orang dengan peta akan mengetahui lebih pasti jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Orang dengan tidak ada peta bisa jadi dia sampai dan bisa jadi dia tersesat, tidak jelas. Peta adalah ilmu tersebut, yang dibuat berdasarkan pengalaman seseorang yang mengetahui setiap ruas jalan di daerah itu sebelumnya.

Bisa dibayangkan apabila kita menempuh jalan yang tidak kita ketahui arahnya, kita akan tersesat tentunya. Itu apabila kita sendirian, bagaimana jika seandainya kita mengajak rombongan?, tentu kita akan menyesatkan orang lain. Perihal mengajak orang lain dalam bahasa arab disebut dakwah (da’a, yad’u) yang memiliki arti ajakan. Sebagaimana misalnya ada orang mengajak untuk pergi ke masjid, tentunya orang yang mengajak dan yang diajak akan pergi ke tujuan tersebut, tidak mungkin orang yang mengajak lantas dia tidak ikut. Mengajak orang lain tentu dalam hal ini adalah mengajak untuk hal kebaikan, amar ma’ruf dan nahi munkar. Mengapa mengajak orang lain dalam hal kebaikan perlu manusia lakukan?. Mari renungkan perumpamaan berikut. Ada seseorang yang menemukan pohon dengan buah yang amat manis, sementara dia melihat ada orang yang akan menuju pohon beracun, bukankah sebagai manusia yang memiliki hati kita akan tergerak untuk menolong orang tersebut agar terhindar dari buah yang beracun dan mengajaknya untuk memilih pohon dengan buah yang manis?. Itulah perumpamaan dakwah, sebagaimana Allah perintahkan kepada manusia, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran (3): 104) atau, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr (103): 2-3).

Mengajak kebaikan merupakan salah satu perintah Tuhan, perintah Nabi, dan menjadi salah satu tanda manusia dengan sifat yang sejati. Maka tidaklah baik orang mengajak tanpa memiliki peta, tidaklah baik orang yang mengajak tanpa dia ketahui dulu ilmunya. Bagaimana dia dapat mengajak orang agar tidak menuju pohon dengan buah yang beracun apabila dia tidak tau perbedaan antara pohon dengan buah yang beracun dan tidak?. Jangan sampai gara-gara kita tidak mengetahui ilmunya, orang justru terbalik seharusnya dia sudah mendapatkan buah yang manis justru kita gantikan dengan buah yang beracun. Oleh karena itu kenapa Allah dan Nabi Muhammad serukan untuk menjadi orang yang berilmu, bahkan Nabi Muhammad wajibkan untuk menimba ilmu untuk setiap orang. Bahkan dalam urutan perintah Tuhan kepada NabiNya, sebelum Nabi diberikan perintah memberikan peringatan, diperintahkan dulu kepada beliau untuk membaca. Bagaikan mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing. Bagaimana kita bisa mengajarkan orang asing bahasa kita sementara kita tidak bisa berbicara dengan menggunakan bahasa orang tersebut?.

K. H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah tersebut pernah mengatakan, pembelajaran ilmu agama seperti menghirup udara pagi, perlahan dan menyejukkan badan dan hati. Bayangkan jika yang dihirup adalah angin topan, tidak hanya tubuh akan hancur tapi juga terhempas tak karuan. Ulama Mesir yaitu Muhammad Abduh pernah mengatakan, “al islamu mahjubun bil muslimin” yang kira-kira artinya adalah islam (keindahan islam) itu ditutupi oleh kaum muslim sendiri. Saat ini ada saja fenomena yang atas nama agama kemudian membantai banyak orang dikarenakan katanya sesat, saling mengkafirkan dikarenakan menurut dia pendapatnya yang paling benar dan dia menganggap dirinya paling taat.

Apabila dikaji lebih dalam, agama islam memiliki ajaran-ajaran yang senantiasa membuat baik orang yang melakukannya dan orang yang merasakan dampaknya, tentu tidak ada kebatilan di dalamnya. Maka benarlah ada ungkapan bahwa gama islam itu “shalihun likulli zamanin wa makanin” yaitu sesuai dengan waktu dan tempat manapun. Hal ini kembali lagi tergantung orang yang mengamalkan dan mengajari ajaran agama itu.

Agama islam sebagaimana islam itu sendiri (aslama, yaslimu, salaman) adalah agama yang menyelamatkan. Menyelamatkan dari kebodohan, kebatilan, kerusakan. Sebagai seorang muslim Nabi Muhammad mengatakan agar assida' alal kuffar, ruhama bainahum, tegas terhadap kebatilan dan berkasih sayang pada sesama. Hal ini terwujud ketika tegas terhadap kebatilan ketika kita mengetahui mana perkara batil dan tidak, jika tidak maka sebaliknya kita akan saling memerangi satu sama lain. Maka benarlah ungkapan “al ‘ilmu nuurun wal jahlu dlaarun” ilmu adalah cahaya, dan kebodohona adalah bahaya.

Orang yang mengajak pada kebaikan atau dakwah dengan ilmu ibarat orang dengan senter dan peta, dia tahu jalannya dan orang yang diajak tidak takut karena si pengajak membawa senter untuk penerangan di jalannya. Dia akan merasa aman, senang, dan dia mungkin akan juga melakukan hal yang sama pada orang lain. Dia selanjutnya akan mengajak orang lain juga dengan senter dan peta sebagaimana yang dicontohkan oleh orang yang pernah mengajaknya. Bukankah indah berdakwah?, ketika ilmu menjadi senter dan petanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun