G30S/PKI yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia masih menyisakan sepenggal sejarah kelam bangsa ini. Tolak ukur kekejamannya dapat dilihat dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Apalagi ketika zaman Orde Baru, segala hal yang berbau komunis pasti dilarang terbit ditambah dengan segenap upaya stigmasisasi yang lain.
Misalnya adanya mata pelajaran "Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)". Melalui tulisan ini akan mengupas tentang "stigma" abadi yang dilancarkan oleh rezim orde baru terhadap Partai Komunis Indonesia dalam secercah buku Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia.
Michael Strumer yang merupakan sejarawan sayap kanan Jerman pernah berujar, "Dinegeri tanpa sejarah, masa depan akan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu". Ungkapan "mereka" mengacu kepada para penguasa yang memimpin wilayah itu. Mereka berupaya menanamkan "legitimasi kekuasaaan" yang kuat agar mudah diingat sehingga dapat menarik massa dalam jumlah yang besar agar dapat memperlanggeng sebuah kekuasaan.
Seperti yang telah disinggung diatas, pemberontakan G30S/PKI menandai akhir tragis partai berlambang "palu dan arit" itu. Apalagi ditambah dengan keluarnya Tap MPR Â No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 yang melarang "Partai Komunis Indonesia (PKI)" untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia.Â
Kita tahu bahwa PKI disepanjang dekade 1950-an sangat mendominasi pemerintahan, ditambah dengan keluarnya Politik NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis)) oleh Presiden Soekarno menambah kepercayaan diri PKI untuk merebut massa yang meledak di sepanjang Era Demokrasi Terpimpin.
Tahun 1966, Soekarno yang gigih untuk tidak menyalahkan PKI sebagai dalang utama pemberontakan G30S/PKI semakin menguatkan dugaan bahwa Soekarno terlibat pada peristiwa G30S/PKI. Melalui hal itu, Soekarno lengser dari kursi pemerintahan selama 21 tahun berkuasa di jajaran presiden.Â
Naiklah, Soeharto dengan embel-embel "bapak penyelamat NKRI" sebagai panglima tertinggi TNI. Saat itulah, legimitasi kekuasaan mulai terasa. Latar belakang Soeharto yang berasal dari ABRI turut mewarnai hal ini, dwifungsi ABRI disahkan. Personeel militer pun diangkat untuk memiliki dua posisi sekaligus. Inilah yang menandai dwifungsi ABRI dalam berbagai tatanan konstelasi politik daerah dan nasional.Â
Imbas lain yang turut serta yakni adanya proyek-proyek pusat sejarah ABRI. Penekanan sejarah ABRI tudak hanya digaungkan dikalangan militer. Rakyat sipil pun termakan oleh pengonsumsian sejarah militer.Â
Alih-alih dibuat sebenar-benarnya dalam pembelajaran sejarah, malahan yang terjadi pun berlainan. Peran militer dalam sejarah begitu dibesar-besarkan sehingga tak heran stigmasisasi terhadap komunisme (masih) saja berlanjut hingga detik ini. Peran militer secara gamblang dapat dilihat dalam Sejarah Nasional Indonesia yang disusun serta ditanggungjawabi oleh Nugroho Notosusanto.
STIGMASISASI MILITER TERHADAP KOMUNISME
30 September 1965 dikenang sebagai hari paling memilukan bagi sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pemberontakan tak berperikemanusiaan dilancarkan oleh tim sukarelawan PKI, Tjakrabirawa.Â