Jakarta dan Ciamis dua nama dengan nuansa yang begitu kontras. Ciamis, dengan ritme kehidupan kampus yang tenang dan asri, menjadi tempat kami menempa ilmu setiap harinya. Namun, ketika mendengar kabar bahwa kami akan melakukan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Jakarta, jantung rasanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada antusiasme yang membuncah, tapi juga kegugupan yang diam-diam menyelinap. Bagaimana rasanya bertemu langsung dengan para profesional dari lembaga-lembaga penting yang selama ini hanya kami baca di buku atau lihat di layar.
Saya, Diki Aulia Rahman, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Galuh, merasa bahwa KKL ini yang berlangsung pada 21 hingga 24 Juli 2025 bukan sekadar SKS dan jalan-jalan edukatif biasa. Ini adalah perjalanan pencarian makna yang melihat dari dekat bagaimana bahasa, riset, dan media dijalankan secara nyata di dunia kerja profesional. Ternyata, dari kunjungan singkat ini, saya menemukan pelajaran hidup yang jauh lebih besar daripada yang pernah saya bayangkan sebelumnya.
Badan Bahasa: Menjaga Denyut Jati Diri
Kunjungan kami ke Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, atau yang lebih dikenal sebagai Badan Bahasa, terasa seperti kembali ke akar pulang ke rumah bagi kami, mahasiswa Bahasa Indonesia. Di sinilah bahasa kita dikembangkan, dilindungi, diinternasionalkan, dan disinilah bagaimana pembinaan bahasa dilakukan. Bukan hanya soal ejaan atau tata bahasa, tapi juga bagaimana bahasa Indonesia bisa terus hidup, adaptif, dan bermartabat di tengah gempuran zaman.
Kami melihat ruangan-ruangan kerja yang tenang namun produktif. Di sana ada para ahli bahasa yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti ragam bahasa daerah, menyusun kamus, merumuskan kebijakan kebahasaan, dan banyak lagi. Suatu hal yang sebelumnya hanya kami baca dalam modul perkuliahan, kini tampil nyata di depan mata.
Saya jadi sadar, pekerjaan mereka mungkin senyap, tapi dampaknya luar biasa besar. Bahasa adalah jati diri bangsa. Dan menjaga bahasa, berarti menjaga identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Sebuah tugas yang tidak kalah mulia dari perjuangan di bidang lain.
BRIN: Api Semangat Riset yang Tak Pernah Padam
Begitu kaki kami menjejak halaman gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ada suasana serius dan agung yang langsung terasa, hawa AC yang dingin, bau kertas-kertas penelitian, atau keheningan yang terasa di lorongnya. Bangunannya modern, dengan kesan intelektual yang kuat. Kami tahu, di balik dinding-dinding itu, berbagai riset besar tentang bangsa ini tengah berlangsung. Riset yang tak hanya berhenti di laboratorium, tetapi menjangkau masyarakat, pendidikan, bahkan kebijakan negara.
Salah satu momen paling berkesan adalah saat kami mendengarkan sambutan dari Ibu Ade Mulyanah, S.Pd., M.Hum., selaku Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas. Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, beliau menyatakan, 'Riset bukan sekadar meneliti dan menuangkannya di kertas. Riset adalah kegiatan mulia yang dapat berdampak besar bagi kehidupan umat manusia.' selain itu beliau juga mengajak keterbukaannya bagi mahasiswa untuk berkontribusi di BRIN dalam mengembangkan ilmu dan pengetahuan. "Kami berharap mahasiswa dapat ikut ambil bagian dalam program magang atau kolaborasi riset lainnya di BRIN. Bahasa dan sastra adalah bagian penting dalam membangun peradaban bangsa dan budaya," ujarnya.
Saya terdiam sejenak. Saya duduk tertegun di kursi, pesan Ibu Ade masih terngiang-ngiang. Selama ini saya kira ... riset hanya milik mereka yang bergelut dengan angka dan laboratorium. Tapi di sana, saya merasa bahwa sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, saya pun punya ruang untuk ikut membangun Indonesia melalui bahasa, melalui sastra, melalui penelitian. Ternyata, menjadi pegiat bahasa bukan hanya soal berbicara dan menulis, tapi juga meriset, mencatat perubahan, dan menjaga warisan budaya lewat ilmu.