Nikah? Bukan Takut Sama Komitmen, Tapi Cicilan!
Oleh Dikdik Sadikin
KITAÂ hidup di zaman ketika cinta pun tak bisa lepas dari neraca. "In this economy", ujar para pengguna media sosial dengan nada getir, menyiratkan bahwa setiap keputusan, termasuk urusan hati dan pernikahan, harus melewati kalkulator.
Cinta mungkin masih buta, tapi ia tak lagi tuli terhadap biaya resepsi, cicilan KPR, dan ongkos hidup.
Lihat saja data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah pernikahan di Indonesia terus menurun dalam lima tahun terakhir. Pada 2018 tercatat dua juta pasangan menikah, namun pada 2022 angka itu menyusut menjadi 1,7 juta (BPS, 2023). Angka ini bukan semata soal tren, tapi cermin dari kegelisahan ekonomi: gaji yang stagnan, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan pekerjaan yang tak lagi menjanjikan masa depan.
Cinta kini bersaing dengan inflasi. Bahkan untuk mencintai pun, kita harus punya dana darurat.
Mereka yang belum menikah sering berkata: "Kami bukan takut berkomitmen, kami takut tidak mampu." Sebuah survei dari Populix (2023) mengungkap 62% responden usia 25--35 tahun menyebut alasan utama menunda pernikahan adalah persoalan ekonomi. Biaya hidup harian, pengeluaran pesta pernikahan, hingga ketidakmampuan membeli rumah menjadi alasan utama.
Dan ini bukan gejala lokal. Di Amerika Serikat, Pew Research menunjukkan lebih dari 50% orang dewasa di bawah 30 tahun memilih hidup tanpa menikah karena tekanan ekonomi. "Marriage has become a luxury good," tulis The Atlantic.
Di Jepang, angka pernikahan menurun drastis. Pada tahun 2021, hanya 501.000 pasangan yang menikah, angka terendah sejak Perang Dunia II (Japan Times, 2022). Sebuah angka yang tidak hanya dijelaskan secara demografis, tetapi juga berdampak pada strategi sektor-sektor. Daya saing Jepang, terutama dalam industri teknologi dan elektronik di dunia, perlahan meredup. Nama-nama besar seperti Toshiba, Sharp, hingga Panasonic tak lagi mendominasi seperti era 1980--1990-an.
Bukan karena mereka tidak lagi mempunyai teknologi. Tetapi karena ide ekosistem mulai sepi. Generasi mudanya berkurang, enggan menikah, enggan beranak, dan lambat laun, enggan pula mencipta sesuatu yang baru. Pusat-pusat inovasi mulai kosong. Yang tersisa adalah generasi tua, yang justru mempertahankan gagasan lama, model lama, dan cara berpikir lama. Sementara dunia sudah bergerak cepat, lebih adaptif, lebih digital, dan lebih terhubung lintas generasi. Jepang, yang dahulu memimpin dalam teknologi konsumen, kini tertinggal oleh Korea Selatan dan Tiongkok yang penuh dengan pemuda-pemudi haus perubahan.
Sosiolog Norihiro Kato pernah menyebut Jepang sebagai "bangsa nostalgia". Bangsa yang tidak hanya menua, tapi juga lebih sering menengok ke belakang daripada menatap ke depan. Dan itu dimulai dari krisis demografi, dari kesepian yang mengakar, dari pernikahan yang tertunda, atau bahkan dilupakan.