Mohon tunggu...
diyah
diyah Mohon Tunggu... Freelancer - Dee

lulusan antropologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemenuhan Hak Perempuan Tionghoa dalam Negara Demokrasi, Sebuah Catatan Sincia

11 Februari 2021   01:05 Diperbarui: 11 Februari 2021   15:39 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik/tawatchai07)

Demokrasi? Sebuah kata yang ketika kita ucapkan akan memiliki implikasi secara luas. Kemungkinan sebagai representasi dari pemikiran politik kita, atau representasi dari upaya penegakan hak azasi manusia, sebagai bagian dari kemanusiaan kita. 

Demokrasi dipahami kebanyakan orang sebagai pembebasan. Pembebasan atas segala penindasan, dari segala kebungkaman pemikiran dan pendapat. Bahwa ketika sebuah negara seperti Indonesia menyatakan sebagai negara demokrasi, maka konsekuensinya adalah semua orang bebas dan berhak berpendapat serta mendapat perlakuan yang sama dan adil. 

Demokrasi dipandang sebagai alat yang ampuh untuk mengungkapkan ekspresi, pikiran, dan pandangan setiap orang tanpa memandang kelas, etnis, suku, dan agama. 

Namun dalam kenyataannya, demokrasi malahan seringkali diartikan kebebasan untuk diri sendiri atau kelompoknya sendiri bukan untuk orang lain, yang berbeda etnis, suku, dan agama.

Seperti yang terjadi di sebuah kota semi-urban di Jawa Barat. Kota ini memiliki penduduk yang cukup heterogen dari kelas, etnis, suku, dan agama berbeda. Kelihatannya kehidupan antargolongan baik-baik saja, tidak ada konflik sosial yang berarti. 

Namun ketika kita berada cukup lama di sana, kita jadi tahu adanya sentimen antargolongan yang terjadi secara diam-diam.

Misalnya, ketika ada sumbangan beras dan mie bungkus dari sebuah Vihara (rumah ibadah agama Buddha) kepada penduduk miskin, sebagian besar warga yang beragama Islam, menolak pemberian tersebut dengan alasan pemberian tersebut sebagai barang haram. 

Contoh lain, seperti terpilihnya seorang lurah perempuan non-muslim di kawasan yang penduduknya mayoritas muslim, kemudian menjadi konflik terbuka di wilayah tersebut, bahkan menjadi pemberitaan nasional. 

Gubernur bahkan diminta untuk mencopot jabatan si lurah dan menggantinya dengan lurah yang beragama Islam. Kasus ini terjadi di wilayah DKI Jakarta, ibu kota Indonesia yang ditengarai sebagai kota yang heterogen dan plural.

Lain lagi yang terjadi di sebuah kota pinggir Jakarta. Kota industri ini dari dulu dikenal sebagai wilayah komunitas etnis minoritas, yang disebut Cina Benteng. 

Etnis minoritas ini telah beratus-ratus tahun hidup berdampingan dengan warga lokal, bahkan sebagian besar sudah percampuran. Namun hidup berdampingan dalam beberapa generasi ternyata tidak menjamin etnik ini dapat menyelenggarakan kegiatan budayanya secara terbuka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun