Mohon tunggu...
diyah
diyah Mohon Tunggu... Freelancer - Dee

lulusan antropologi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Meneladani Gus Dur Melalui Film "Tanda Tanya"

20 April 2018   11:01 Diperbarui: 20 April 2018   11:05 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.chockysihom.com

"Keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya", itu yang diucapkan oleh Tokoh Nasional, Abdurrahman Wahid, atau biasa di sapa Gus Dur. Tokoh nasional yang sudah lama meninggalkan kita, merupakan tokoh yang akrab dengan isu pluralisme. Gambar tokoh ini pun ditampilkan dalam sebuah adegan di film yang berkisah tentang keberagaman atau pluralisme berjudul "Tanda Tanya".

Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini, dipilih sebagai film yang diputar pada acara Nobar Kompasianer pada Sabtu, 7 April 2018 lalu di Perpustakaan Nasional Jakarta. Alasan film ini dipilih untuk Nobar, karena tema yang ada dalam film ini masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Terutama dengan adanya pemanfaatan isu SARA pada Pilkada DKI Jakarta yang lalu, dan bahkan tidak mungkin akan muncul pula dalam pilkada lainnya pada tahun 2018 ini.

Diproduksi pada tahun 2011, film ini sempat menjadi kontroversial dan diprotes oleh banyak pihak, terutama kelompok Islam garis keras, yang tidak setuju dengan cerita dalam film ini. 

Dikisahkan dalam film, seorang perempuan berjilbab bernama Nuk, yang bekerja pada restoran Tionghoa yang menjual makanan non halal. Hal ini lah yang memicu protes keras dari kelompok tersebut. Kemudian juga ada cerita perempuan Islam yang memilih berpindah keyakinan menjadi Katolik setelah memilih bercerai dari suaminya, yang akan menikah lagi alias poligami. Hal ini juga yang menjadi alasan protes tersebut.

Didalam film ini, ajaran Gus Dur mengenai pluralisme ditampilkan dengan tim Banser NU yang menjaga gereja pada waktu perayaan Paskah dan Natal. Alasannya karena umat Islam sering dianggap sebagai teroris dan membenci umat beragama lain, maka untuk menunjukkan bahwa tidak semua umat Islam seperti anggapan tersebut, maka harus umat Islam lah yang menjaga rumah ibadat agama lain ketika mereka sedang melakukan perayaan hari besarnya.

Isu pluralisme atau keberagaman sesungguhnya sudah diterapkan di Indonesia bertahun-tahun lamanya, ketika pembentukan negara Republik Indonesia. 

Para tokoh nasional Indonesia waktu itu sudah memikirkan mengenai keberagaman SARA di Indonesia, sehingga di dalam filosofi negara terdapat kalimat "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda tetapi satu juga. Keberagaman tersebut pula alasan sila pertama hanya kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan merujuk pada agama mayoritas yaitu Islam.

Saat ini, keberagaman justru menjadi isu yang asing, dengan semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap akses informasi yang kian marak seperti sosial media. 

Blog, menjadi salah satu media yang rentan untuk menampilkan isu keberagaman menjadi tidak diterima di Indonesia, sekaligus menjadikan isu keberagaman merupakan ciri khas Indonesia yang harus dipertahankan. Blog ini seperti dua sisi mata uang.

Karena itu, menjadi sangatlah penting untuk mengajak para blogger, terutama di Kompasiana, menonton film yang mengangkat isu keberagaman, sekaligus mengkritisi, dan mengungkapkan pandangan serta opininya di blog nya masing-masing, sehingga isu keberagaman tidak menjadi isu yang asing di negara ini. Dan melalui teladan Gus Dur yang tersirat di film ini, kita bisa memulai untuk memperhatikan isu keberagaman #berbedaituindah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun