Mohon tunggu...
Didin Emfahrudin
Didin Emfahrudin Mohon Tunggu... Novelis - Writer, Trainer, Entrepreneur

Penenun aksara yang senantiasa ingin berguna bagi semua makhluk Allah SWT, layaknya Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ke Mana Dolanan Bocah Itu?

7 April 2019   16:51 Diperbarui: 7 April 2019   16:58 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana aku tak merindu. Melihat serumpun kafilah kupu-kupu. Berwarna-warni, ku tangkapi semua itu. Terkenang dalam masa dolanan bocahku yang suci nan lucu. Capung-capung lebih beringas terbangnya. Mereka dapat melayang tenang di udara. Menyemai pagi hingga senja.

Terkadang, mereka juga hinggap manis. Di pagar berjeruji bambu di depan rumah yang masih romantis. Juga sesekali terdiam merambat di kuncup sari. Bunga sepatu, yang warnanya merah muda kian mewangi. Beruntunglah mereka.

Para bocah yang pernah menghiasai hari-harinya. Bersama aroma kerinduan masa kanak-kanaknya yang sejati. Dolanan rakyat yang tulus suci. Menyublim ke relung kenang dalam memori. Bocah kampung memang pemilik sejuta cara. Kala mereka belum mengenal nada pekat belantara dunia.
 
Memuaskan dahaga rasa penasaran. Melukis imaji sebebas akal-akal merdeka seorang insan. Membuat istana-istana dari semak belukar.

Berbekal kerjasama juga tawa kelakar. Duhai serunya masa itu. Bahana gempita di balik rimbun bambu.

Benteng alami desa yang haru biru. Membuat timbulan seperti kapal selam, yang di rancangnya sendiri dari lempung tanah hitam kecoklatan, atau aneka boneka; ayam, itik, kerbau beserta kandang-kandangnya. Kreasi memoles tanah liat, sulap intuisi seorang bocah. Bocah-bocah membuat boneka sapi tak untuk di sembah. Bukan pula sapi untuk berhala. Layaknya Musa Samiri membuat patung Tuhan bertanduk dua. Dolanan bocah. Ia hanya ingin membuat permainan-permainan yang berdikari. Bukan menjadi budak-budak konsumsi. Mainan produk-produk inter-konglomerasi. Dengan tekong-tekongan, aku berlatih kesigapan. Patek lele, mengasah ketangkasan. Lompat angkle, menguatkan otot kaki dan tangan. Dan puluhan dolanan bocah lain yang kini mulai ter-musiumkan.

Biarkanlah seorang bocah, menjadi apapun saja dalam permainan rakyatnya Bersahabat dengan air juga tanah. Unsur-unsur penyusun tubuh manusia. Dolanan rakyat mempercepat akselerasi otak.

Skill kepemimpinan, komunikasi, bahkan organisasi juga ikut tersentak. Dolanan bocah, membawa balita bagai pemimpin berkharisma, penghuni istana Layaknya dwitunggal Soekarno-Hatta, proklamator Republik Indonesia. Atau menjelma, bagai penguasa kerajaan-kerajaan masyhur yang pernah ada. Berdiri dan membangun peradaban di Nusantara.

Bagai Majapahit dengan Prabu Hayam Wuruk berdamping Gajah Mada, atau Sriwijaya menuju keemasannnya, bersama Balaputradewa. Bahkan Sulaiman dan Ratu Balqis di Negeri Saba. Lelulur agung peradaban, pewaris kearifan dolanan bocah.
 
Alam memang selalu bisa mengelaborasi. Universitas kehidupan, lahan praktikum para bocah-bocah di sudut negeri Menjabat hangat, lingkungan mereka yang hijau berseri. Lempung liat dan sejuta media melimpah untuk bahagia bersemi. Dengan hati ceria tanpa beban. 

Mendekap segala kondisi dan keadaan. Merangkul lingkungan yang ada. Dengan sederhana namun penuh sahaja. Dolanan bocah tanpa nafsu merampas. Apalagi merusak alam pengayom manusia sumberdaya warisan nafas. Oksigen kehidupan demi kehidupan setelah mereka. Sayang nasibmu kini dolanan bocah.

Bocah-bocah jaman kekinian, takut akan teriknya mentari yang membara. Jijik dengan lumpur, tambak juga jublang-jublang yang kini tersumbal sampah. Game-game android, produk industri global, lebih asyik katanya, wahai bocah. Ya sudahlah wahai dolanan bocah. Biarlah, aku saja yang menjadi cinta pertama dan abadimu pun tak apa.

Meski aku hanya dapat bersenggama denganmu di angan saja. Yakinlah dolanan bocah, aroma kerinduanku padamu itu manis adanya Mengecupmu, ketika langit di ufuk barat pedusunanku mulai membias merah Lalu kita terdiam di bawah rimbunan bambu yang berdesit-desit mesra. Sungguh maafkan aku dolanan bocah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun