Mohon tunggu...
Didin Abramovich Alfaizin
Didin Abramovich Alfaizin Mohon Tunggu... Pengamat layar laptop

Bukan tukang kritik, hanya penyampai ide. Penyuka anime. Punya impian menganggrekkan lorong depan rumah. Salam literasi dari langit suram Makassar

Selanjutnya

Tutup

Diary

Seri Pulau Buru: Selamat Malam Namlea

2 Oktober 2025   21:34 Diperbarui: 2 Oktober 2025   21:34 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di sudut Namlea yang jarang disebut dalam peta kerinduan, berdiri sebuah kafe yang hanya bernafas hingga pukul sebelas malam. Seolah waktu pun tahu batasnya di tempat ini. Enggan berlama-lama, dan membiarkan malam melanjutkan perjalanannya tanpa jeda. Lampu-lampu temaram memantulkan bayangan samar di meja kayu yang mulai menyerap kisah-kisah yang tak pernah selesai. Aku duduk di tepi jendela, memesan nasi goreng seafood yang namanya menjanjikan lautan dalam satu piring. Namun, harapan seringkali bertemu kenyataan dengan cara yang ganjil. 

Potongan kecil seafood, hampir tak kasatmata berbaur hampir sempurna dengan nasi gorengnya, seperti kenangan yang samar,  ada tetapi tak bisa digenggam sepenuhnya. Aku tersenyum tipis, belajar menerima bahwa hidup selalu menyajikan sesuatu yang tak sesuai harapan, sementara kita tetap harus menelannya dengan kepasrahan yang samar. 

Dari ruang tengah, musik mengalun pelan. Lagu-lagu awal '90-an dari Dewa 19 merayap ke udara, membungkus malam dengan nostalgia yang hangat. Suara Ari Lasso dan Once menyeret ingatan ke masa lalu yang entah kapan, membawa damai yang aneh, seperti berbicara dengan diri sendiri yang lebih muda di dalam cermin yang berdebu. Aku menyesap kopi yang khas---rasa pahit yang tidak terlalu mencela, manis yang tidak terlalu memaksa. Seperti kompromi dalam perasaan, seperti jalan tengah antara menerima dan menginginkan sesuatu yang lebih. 

Di luar, angin malam mengembuskan dinginnya ke jalanan sepi. Lampu-lampu kota kecil berkelip samar, seperti bintang yang lelah di langit yang mulai pudar. Malam di Namlea tidak meminta banyak, hanya cukup ditemani lagu, segelas kopi, dan sejumput renungan yang terselip di sela-sela keheningan. Dan sebelum jarum jam mengantarkan pukul sebelas, aku pun bersiap melangkah pergi, meninggalkan rasa yang masih tertinggal di dasar cangkir. 

Kuakhiri malam ini dengan mengemas kebutuhan seminggu di Batabual. Tas yang kupersiapkan terasa lebih berat dari seharusnya, mungkin karena ada beban pikiran yang ikut terlipat di antara pakaian dan peralatan kerja. Esok, aku dan mentalku akan kembali berhadapan dengan ombak Laut Banda yang tak pernah diam. Gelombangnya seakan memahami bahwa perjalanan bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga pergulatan dengan diri sendiri. 

Di sana, di bawah kaki gunung yang sunyi, kamera jebak yang terpasang sebelumnya menunggu untuk diambil. Diam-diam, ia merekam jejak makhluk yang tak selalu terlihat, seperti kenangan yang hanya dapat ditangkap dalam keheningan. Seminggu, mungkin lebih, aku dan tim akan tenggelam dalam kesibukan di Batabual, menyusuri hutan, membaca tanda-tanda alam, dan berdamai dengan kesendirian. Lalu, saat waktu mengizinkan, kami akan bertolak kembali ke tempat asal---Makassar, kota yang selalu menunggu dengan cara yang tak pernah sama.

# Catatan perjalanan 

# Pulau Buru

# Didin Alfaizin

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun