Di Sulawesi Selatan, seperti kota umum lainnya di Indonesia, ada tempat yang disebut Ammatoa. Kampung Para penjaga hutan. Disitu dituturkan hikmah lewat angin laut dan siri' na pacce menjadi napas kehidupan.
Aku kagum dengan budaya mereka yang agung. Lalu, pandanganku tersentil miris melihat keadaan setelah kumembaca sebuah buku tentang karbon. Tak kutemui satu pun kata tentang cinta, kehangatan, atau jeda untuk bernapas. Hanya angka dan emisi, grafik dan kebijakan. Seolah semesta ini bisa dirangkum dalam hitungan ton dan tidak dalam rasa. Padahal, dalam budaya mereka, menjaga alam bukan sekadar kewajiban ekologis, tapi laku batin yang diwariskan dalam tiap langkah.Â
Maka aku pun bertanya, jika bumi dijaga tanpa rasa, apakah itu masih disebut pelestarian atau hanya penghitungan yang kehilangan makna?
Di tengah angka dan emisi karbon, kita lupa bahwa bumi ini tak hanya butuh reboisasi hutan, tetapi juga reboisasi rasa.
# kontemplasi senja
#celoteh Didin Alfaizin
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI