Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... -

Praktisi pendidikan, guru Matematika di SMAN 1 Majalengka. Alamat Desa Jatipamor, Kec, Panyingkiran, Kab, Majalengka Jawa Barat. Hobby menulis. Produk awal basic bahasa daerah . Publikasi pertama tahun 1978 (Kelas 1 SMP di Parikesit Solo). Cerita Pendek masuk antologi Niskala (FPBS YK), Antologi Liong Tembang Prapatan - Taman Budaya YK . Masuk antologi Pengarang Sastra Jawa. Dari tahun 1990 - sekarang (2014)menjadi kolumnis Dialek Banyumas di Majalah Mingguan Djaka Lodang Yogyakarta. Tahun 2002 - 2005 Ketua Dewan Redaksi Majalah Sekolah Warta Ganesha. Harapan 1 Sayembara Cerpen Ashshiddiq Intelektual Forum Bandung. Dari tahun 2007 sering mengisi Kritik Pendidikan dalam Fiksi di Tabloid Pendidikan Eskul Majalengka. Sekarang banyak merenung tentang nasib pendidikan di negeri kita tercinta yang kusutnya sulit diurai karena segalanya telah menjadi sebuah sistem. Tapi kusutnya dunia pendidikan dan karakter output masih dapat dirapikan. Kita harus optimis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haji Dendam

21 Maret 2014   05:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:40 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar :

Tulisan ini merupakan salah satu dialog fiktif tentang karakter manusia, di tengah maraknya isu runtuhnya nilai karakter bangsa, serta isu usaha-usaha yang ditempuh untuk kembali membangun karakter bangsa. Tentu karakter yang ingin dibangun kembali adalah karakter yang baik. Termasuk pembangunan karakter melalui kurikulum.

HAJI DENDAM

Ketika Pak Subangkit diminta untuk tampil memberikan ceramah, banyak orang yang memalingkan muka. Terlebih lagi yang memang benar-benar bermuka maling. Diceramahi oleh pak Subangkit adalah tabu berat. Ia seorang tokoh moralis, tetapi tidak dikenal sebagai tokoh agamis.

“Apa wilayah kita ini sudah kehabisan Kyai?” tanya pak Sariman seraya menyentuh lengan Haji Sujapar yanag duduk di sampingnya. Yang ditanya hanya mendengus.

“Tren baru. Kuntul diunekake dhandhang, dhandhang diunenake kuntul )1! Biasa, sensasi, reformasi!” tak urung Haji Sujapar berkomentar juga.

“Apa tidak sebaiknya oleh Anda saja, pak Haji Sujapar ? Kan lebih afdhol… siraman rohani atau sentuhan moral itu oleh Haji Sujapar!, sekali lagi, haji!”

“Sst… jangan, malu ! Aku ini bukan kyai, aku ini hanya Haji!”

“Lho? Yang namanya Haji kan harus bisa ngaji to? Harus bisa ndakwah dan ndalil, kalau perlu kemana-mana pakai peci putih!”

“Sssssst malu, jangan keras-keras! Tak kasih tahu ya, kamus mana yang mengatakan bahwa Haji harus bisa ndakwah? Bisa ndalil? Pikiranmu kok sempit amat! Bayangkan, orang setua aku ini kan baru belajar agama….. mana aku hafal dalili-dalil macam simpenan para kyai! Haji itu kan urusannya dengan uang! Dengan ONH, bukan dengan ilmu!”

“Tapi kalau haji bisa ndalil dan ndakwah lebih bagus kan ?”

“Iya memang! Tapi, tak ada syarat haji harus bisa ndalil dan ndakwah ! Jadi jangan salahkan haji yang tidak bisa ndalil. Jangan cemooh haji tidak bisa ngaji! Jangan tertawakan haji yang korupsi!”

“Ha?! Memangnya ada haji yang korupsi?”

“Ya tanyakan saja kepada haji yang korupsi! “

Haji adalah sebutan orang Islam yang telah mampu secara ekonomi melakukan tatacara ibadah haji di tanah suci ( pada bulan Dzulhijjah ) . Sepulang dari tanah suci , orang lain menghormatinya dengan sebutan Haji . Tapi ada pula yang dengan bangga menyebut dirinya dengan Haji , berarti orang tersebut tergolong Haji Pede , Haji Percaya Diri .

Strata sosial jaman sekarang sepertinya semakin nyataoleh persaingan wangun tampilan. Siapa yang bisa tampil lebih mahal, dialah yang akan menang dan melenggang dengan tenang di jalan. Pun cerita tentang Haji Sujapar di atas, sebenarnya ia mengejar gelar Haji hanya untuk menuntaskan dendam kepada teman-temannya, untuk menunjukkan wangun tampilan.

Ketika kecil, Sujapar berteman dengan empat orang , Jupri, Ladrang, Sujaman dan Baruno. Mereka suka main sandiwara-sandiwaraan. Jupri didapuk (berperan) jadi insinyur, Ladrang jadi tentara , Sujaman jadi guru, Baruno jadi dokter. Yang ketiban sial adalah Sujapar ini. Ia kebagian dapukan (peranan) kere (orang yang teramat miskin ).

Rupanya wilayah kesadaran traumatiknya terbawa benar. Betapa malunya dulu ketika didapuk jadi kere. Mau jadi yang lain, jadi Kepala Rampok tidak boleh. Kata teman-temannya: “ Badanmu itu kecil, pantesnya jadi kere! Mana ada kepala rampok yang ngidak telek ora gepeng)2!” Begitu lekat pedas olokan teman-temannya. Namun Gusti Alloh memang amat mudah untuk memberi jalan hikmah. Sujapar menjadi seorang pekerja keras, ulet dalam berniaga. Ia punya tiga pabrik penggilingan padi di tiga desa yang berbeda. Punya angkutan pedesaan dua. Hidupnya mubra-mubru, kelebihan harta. Namun rasanya ia belum puas untuk membalas derajat kere yang pernah ia sandang waktu kecil.

“Apa aku ini masih kere nyai?” tanyanya suatu ketika kepada istrinya.

“Masih! "

"Masih? Bukannya aku ini sudah kaya?"

"Kere iman, miskin iman, sudah diberi rejeki begitu banyak masih nggak mau sholat!”

“Kere iman atau kere sholat?”

“Oalaaah pak! Saya ini bicara ama kamu seperti bicara sama anak kecil! Kamu ngaji saja sama Kyaine Syafei, nanti kalau perlu naik haji sekalian!”

Tak terlintas selama ini pikirannya untuk naik haji . Omongan istrinya benar-benar menjadi pikiran. Sejak itu Sujapar rajin mengaji, walaupun grotal-gratul (terbata-bata). Istrinya bersyukur suaminya sadar. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Sujapar pergi haji. Semua orang, bahkan Kyai Styafei berlinang air mata. Orang seperti Sujapar nampaknya mendapatkan hidayah di masa tuanya. Sepulang naik haji ia berkata pada istrinya :

“Sekarang aku puas nyai. Lunas sudah keinginanku! Jupri gagal jadi insinyur, Ladrang walaupun jadi tentara namun ia hanya pensiunan kopral. Sujaman jadi guru SD, mati ngenes gara-gara sekolahannya ambruk. Baruno memang jadi dokter, tapi malah sakit-sakitan lantaran mikir prakteknya nggak laku-laku!”

“Oalaaah pak, pak ! Haji kok nyukurake uwong)3 ! “

“Lhooo.. biar mereka tahu bahwa Japar ini bukan kere seperti dapukan mereka dulu! Tapi Haji Sujapar yang punya punya pengalaman ke luar negri !”

Hahahaha!

Tiba-tiba Pak Sariman tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Haji Sujapar. Semua orang menoleh ke arah mereka berdua. Pak sariman sendiri sangat kaget. Rupanya dongeng tentang haji dendam Haji Sujapar lebih menarik daripada ceramah moral Pak Subangkit. ***



Keterangan :

)1 : Kuntul diunekake dhandhang, dhandhang diunekake kuntul . Kuntul ( burung bangau berbulu putih) , dhandhang ( burung gagak berbulu hitam) ; asal dari bahasa Jawa. Bangau dikatakan sebagai gagak, gagak dikatakan sebagai bangau.

)2ngidak telek ora gepeng : Menginjak kotoran ayam tidak gepeng.

)3Nyokurake uwong : – berbicara / berteriak – untuk menyatakan rasa puasnya atas kegagalan/kesedihan/musibah yang menimpa orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun