In a world of total surveillance, the only true freedom lies in not being seen. You can't control the grid from within the grid.
New Jersey, 1984. Seorang anak kecil berlari menghampiri ayahnya, seorang pesulap yang akan melakukan sebuah aksi yang cukup mengancam nyawa, yaitu dengan masuk ke dalam sebuah brankas besi yang digembok dan ia sendiri dirantai di dalamnya.Â
Ia mesti dapat membebaskan diri dari rantai dan juga membuka brankas tersebut, sekaligus segera mencapai permukaan sungai sebelum ia kehabisan nafas. Ya, brankas yang akan memuat dirinya akan diceburkan ke dasar sungai tepat di belakang mereka.Â
Sementara di seberang, nampak seseorang sedang menyiarkan acara tersebut secara langsung melalui sebuah stasiun televisi. Nampak sang penyiar meragukan apakah sang pesulap dapat meloloskan diri dari maut yang menunggu di dasar sungai.
Anak kecil itu pun nampak menjadi ragu. Ia memohon kepada ayahnya untuk membatalkan aksinya tersebut. Namun sang ayah nampak meyakinkan sang anak. Ia ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa mereka salah. Ia berjanji pada anaknya itu bahwa ia akan selamat tidak lebih dari 300 detik.
Namun, saat sang pesulap telah dimasukkan ke dalam peti dan brankas telah diceburkan ke dasar sungai, saat anak kecil itu mulai menghitung hingga 300, .., 304, ... sang ayah tidak juga nampak keluar dari bawah permukaan sungai.
Pesulap itu akhirnya meninggal dalam aksinya, meninggalkan sang anak yang akhirnya hanya bisa menangisi dan meratapinya.
Pesulap itu adalah Lionel Shrike dan anak kecil itu adalah Dylan Rhodes. Anak kecil yang kemudian membawa rasa kehilangan ayahnya sebagai dendam selama seumur hidupnya.Â
Ya, ia mendendam kepada mereka yang hanya bisa mencari keuntungan dari ayahnya, namun saat ayahnya membutuhkan pertolongan, mereka tidak dapat menyelamatkannya.Â
Anak kecil itu, Dylan, pun akhirnya dapat melampiaskan dendamnya, tiga puluh tahun kemudian, melalui Empat Penunggang Kuda yang sengaja dipersiapkannya.