Mohon tunggu...
Didi Cahya
Didi Cahya Mohon Tunggu... -

Penyiar yang menulis, penulis yang siaran. Menjaga gawang siaran pagi di sebuah radio jaringan nasional di Surabaya, sekaligus penulis Samuel, Samantha, and Me (biografi Samb Brodie), Meraup Miliaran dengan Web Komunitas (Ali Akbar @pakar SEO), dan Roti Maryam untuk Bapak dalam antologi cerpen Cerita Kita di Kota Kata. Monggo dinikmati.....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surabaya Pelat Hitam

19 Februari 2014   20:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:40 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari lalu saya ikut menandatangani petisi #saveRISMA yang banyak beredar di media sosial. Mengapa saya ikut mendatanganinya? Kalau jawaban klise sudah jelas, karena sebagai warga Surabaya, saya merasakan begitu banyak perubahan luar biasa yang membuat Surabaya semakin indah dan nyaman. Namun jika ditanya alasan secara personal, banyak yang bisa diceritakan, termasuk cerita-cerita orang-orang yang bekerja bersamanya secara langsung.

Pertama kali saya mengenalnya beberapa tahun lalu, Bu Risma masih menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Saya menunggu di kantornya yang tidak megah, namun bersih. Saat bertemu, Bu Risma sangat ramah dan tidak seperti stereotipe pejabat PNS perempuan yang biasanya dandan, bau wangi parfum mahal, bergemerincing gelang emas di balik lengan baju mereka. Bu Risma sederhana, mirip penampilan almarhumah ibu saya yang meski berkarir namun bukan pejabat.

Surabaya menjelma menjadi kota besar yang cantik dan nyaman karena ditata oleh Bu Risma saat itu. Dia bekerja tidak mengenal waktu. Saat musim hujan tiba, perempuan kelahiran Kediri itu bersama para anak buahnya memangkas dahan dan ranting pohon-pohon tua agar tak berjatuhan saat angin ribut datang. Di musim kemarau, saat panas Surabaya menggila, Bu Risma bisa saja berada di pinggir jalan mengecek saluran-saluran air yang buntu karena tertutup sampah daun. Jarang saya melihatnya duduk manis di ruang kerja menunggu berkas yang harus ditandatangani.

Saat Bu Risma menjabat Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya, saya tidak terlalu mengikuti sepak terjangnya, sampai akhirnya dia diusung untuk mengikuti pemilihan Walikota Surabaya. Dan terpilih. Meski saya termasuk warga yang memilihnya, sempat terbersit di dalam pikiran, mampukah Tri Rismaharini memegang amanah itu? Mengingat saat menjadi Kepala Bapeko dia sudah mengalami beberapa tekanan. Memang info ini tidak saya dengar langsung, melainkan dari beberapa rekan wartawan. Tapi saya yakin, Bu Risma yang memang keras kepala itu pasti sanggup.

Keyakinan saya terjawab. Surabaya menjadi lebih baik. Warga kota semakin menyintainya. Pernah saat saya membagikan nasi bungkus kepada para pekerja kebersihan, mereka mengira nasi bungkus itu dari Bu Risma. Dengan mata berkaca-kaca mereka berterima kasih dan bercerita bagaimana mereka sekarang lebih diperhatikan dan merasa di’orang’kan.

Di lain waktu, saya mendengarkan berbagai cerita dari para PNS tentang sepak terjang Bu Risma untuk membenahi budaya kerja di pemkot demi peningkatan pelayanan kepada warga Surabaya. Membuat KTP dipermudah, banjir tidak betah menggenang di Surabaya karena langsung dialirkan ke gorong-gorong yang diperbanyak, jalan di pedestrian pusat kota menjadi nyaman karena PKL lebih ditata, dompet tidak gampang tipis karena semakin banyak taman yang bisa dijadikan tempat plesir murah sambil berolah raga atau sekadar memanfaatkan wi-fi gratis yang disediakan. Kurang apa, coba?

Sebagai orang media yang mempunyai akses dari orang-orang yang bekerja bersama Ibu Walikota, saya termasuk orang yang beruntung. Seorang kabag bercerita bahwa pernah di suatu malam saat menemani Bu Risma, dia diminta turun dari mobil untuk menanyai bapak-bapak yang sedang memancing. Dengan bersusah payah bu kabag mendatangi bapak-bapak yang memancing di lokasi yang memang agak sulit dijangkau dari jalan.

“Bapak kerja di mana? Kenapa malam-malam mancing? Ada lauk di rumah?” Spontan bapak-bapak yang sedang memancing itu tertawa, “Owalah bu…. kami ini lho sopir, capek setelah seharian cari uang, ini kami sedang refreshing.” Dan ibu kabag itu pun tertawa lega dan melaporkan hasil interview dadakan itu ke Bu Risma. Mengapa ini ditanyakan? Karena Bu Risma tidak ingin jika masih banyak warganya yang menganggur, karena selain berimbas pada rendahnya tingkat kesejahteraan, pengangguran adalah sumber kriminalitas. Perempuan berzodiak Scorpio itu takut jika bapak-bapak yang ditemukannya memancing di tengah malam itu adalah para pengangguran yang tidak mempunyai uang untuk membeli lauk makan.

Belum lagi ‘hobi’ Bu Risma blusukan ke Kenjeran, suatu daerah yang dikenal sebagai kawasan mesum di Surabaya. Perpaduan antara garang dan penuh kasih sayang muncul saat dia memergoki ABG-ABG yang pacaran, termasuk pasangan lesbian cilik yang sedang memadu kasih. Anak-anak itu ditanyai, diperiksa kondisi kesehatannya, dimarahi, dinasehati, dibimbing, apa pun dilakukan seperti halnya yang dilakukan seorang ibu. Pejabat pemkot yang lain, ibu kadinas, memilih untuk keluar dari ruangan saat itu, dan meluapkan tangisnya karena tidak tahan melihat anak-anak bermasalah yang notabene seusia dengan anaknya sendiri.

Taman-taman di Surabaya itu pun sebenarnya juga rawan tindak kejahatan dan asusila di malam hari. Namun itu tidak sampai terjadi di Surabaya. Mengapa? Walikota Surabaya membuat jadwal piket bagi PNS di jajarannya untuk menjaga taman-taman itu dengan shift 4 jam sekali jaga. Bagi pegawai perempuan, jadwal piket mereka pagi hingga petang. Sisanya para pegawai laki-laki. Mengapa bukan Satpol PP yang menjaga taman-taman itu? “Taman di Surabaya banyak. Tugas Satpol PP sudah berat. Kita punya pegawai banyak, mengapa bukan mereka saja yang kita berdayakan?” begitu kalimat yang saya kutip dari cerita kawan saya yang masuk jajaran PNS.

Belum lagi bagaimana Walikota yang sering melampiaskan kegalauannya dengan bersih-bersih got ini mampu membuat para PNS melepas sekat mereka sebagai pelayan masyarakat dengan mewajibkan mereka untuk kerja bakti, bukan di sekitar kantor masing-masing melainkan hingga ke perumahan penduduk. “Gak peduli dia sudah kadinas, wayahe kerja bakti yo kudu nyekel sapu kerik. Wes ngono paling gak enak nek resik-resik nang perumahan wong-wong sugih. Wes kesel, ngelak, gak dike’i ngombe. Pancen tega wong-wong iku,” curhat teman saya yang kurang lebihnya kalau diterjemahkan begini, “Tidak peduli dia sudah kadinas, saat kerja bakti ya harus memegang sapu lidi. Sudah begitu paling tidak enak kalau bersih-bersih di perumahan orang kaya. Sudah capek, haus, tidak diberi minum. Memang tega orang-orang itu.”

Melihat rekam jejak yang sudah tercatat, saya paham, sangat paham jika Bu Risma merasa lelah dan tak tahan. Urusan pekerjaannya saja sudah menguras tenaga, pikiran, dan emosi. Apalagi masih dirusuhi berbagai kepentingan yang jelas-jelas UUD (tidak perlu diperjelas kan?). Tadi pagi saat menonton televisi jelang siaran pagi, saya melihat raut wajah Bu Risma yang keruh, kelam. Tidak seperti biasanya yang murah senyum keibuan. Dan tiba-tiba saya merasa menyesal, sangat menyesal, mengapa saya ikut menandatangani petisi #saveRISMA yang sekarang sudah mendapat berapa tanda tangan pun saya tidak tahu.

Saya merasa menjadi salah satu penyebab keruhnya wajah Bu Risma karena memaksanya untuk menghadapi tekanan-tekanan itu, sementara saya hanya membantu tanda tangan yang belum tentu dipertimbangkan oleh para mafia yang dihadapi Bu Risma. Saya juga merasa bersalah karena saat Bu Risma menangis, saya tidak ada di sisinya, hanya untuk menghapus air matanya dan memberikan bahu saya untuk disandarinya. Saya merasa bersalah.

Saya akhirnya berpikir, biarkan Bu Risma mundur dari jabatannya. Bukan karena beliau lemah atau pengecut, tapi karena saya yakin bahwa jika Bu Risma berganti pelat dari merah menjadi hitam, beliau justru semakin leluasa bekerja tanpa tekanan mana pun. Bu Risma tidak usah mengurusi aneka proyek yang berbau uang, bahkan bisa menjadi proyek haram dengan uang panas. Cukup beliau melanjutkan perjuangannya mengurusi gepeng yang ada di liponsos, membina anak-anak terlantar, meningkatkan pemberdayaan warga dengan menyuntikkan virus kemandirian sebanyak-banyaknya.

Sederhana, tinggal melanjutkan program kerja Bu Risma sewaktu masih berpelat merah. Bedanya, sekarang beliau dapat bekerja dengan sepenuh hati, semampu tenaga yang ada, lebih mandiri, untuk membuat Surabaya dan warganya lebih baik. Masalah dana? Hellooowww….. ini waktunya warga yang mengaku peduli untuk bekerja. Lakukan Gerakan Sejuta Koin untuk Surabaya sudah bisa menjadi modal awal Bu Risma untuk bergerak. Jika dana sudah demikian besar dan butuh pengelolaan, tinggal dilegalkan dan keuangan rutin diaudit supaya tidak terjadi penyelewengan. Intinya, Bu Risma tetap melakukan apa yang dilakukannya sewaktu menjadi walikota, namun tidak lagi berpelat merah melainkan dengan menggunakan kendaraan berpelat hiitam.

Inilah gerakan warga yang sesungguhnya. Tidak hanya menandatangani petisi dan membiarkan ibunya berwajah keruh menghadapi tekanan para penindas itu secara langsung. Memang, Surabaya Pelat Hitam tidak akan bisa masuk ke wilayah regulasi. Tapi selama ini regulasi ada hanya untuk dikangkangi, bukan? Surabaya Pelat Hitam juga bukan oposisi, karena memang tidak ada keinginan untuk melawan pelat merah, melainkan melakukan hal-hal yang tidak sempat tertangani (bahkan tidak sempat terpikirkan) oleh pelat merah (setelah Bu Risma mundur).

Surabaya Pelat Hitam bisa dijadikan gerakan yang menunjukkan bahwa warga surabaya wes gak patheken ambek sing jenenge politik (sudah tidak peduli dengan yang namanya politik), apalagi politik yang penuh kepentingan partai, penguasa, dan pengusaha, bukan kepentingan warga. Warga Surabaya hanya peduli dengan kemajuan dan kenyamanan kotanya, meski bapak-bapak ibu-ibu di kursi kekuasaan sedang saling sikut dan berkedip mata dengan para pengusaha hitam. Biarlah. Biar saja Bu Risma bekerja dengan Surabaya Pelat Hitamnya.

Saya rindu tawa lepas dan aura terang dari wajah Bu Risma. Saya ingin mendung itu hilang dari matanya. Saya ingin ibu warga Surabaya ini merasakan kebahagiaan berada di tengah2 orang-orang yang menerimanya, bukan menderita di tengah orang-orang yang mengusiknya.

Mundurlah, Bu Risma… jika itu yang bisa membuatmu bahagia dan kembali tertawa. Karena Surabaya Pelat Hitam tampaknya lebih cocok menjadi tempat Ibu berkarya…..


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun