Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Tuhan Selalu Menanti di Tikungan Jalan". Sebuah Catatan Perigrinasi

10 November 2016   22:15 Diperbarui: 10 November 2016   22:39 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suryadi Prajitno menuliskan refleksi dari perjalanan sekitar 450-500 km yang dilakukan pada tahun 2008 dengan judul: Tuhan Selalu Menanti di Tikungan Jalan (hal.219). Dimulai dari Terminal Magelang-Muntilan-Jombor-Ringroad Yogyakarta-Piyungan-Pathuk-Wonosari-Pracimantoro-Wonogiri-Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung dan berakhir di Kediri (hal.220). Pengalaman itu dituang-tulis-sharingkan di buku Gairah Akan Allah, Gairah Akan Dunia dengan editor Kristiono Purwadi yang diterbitkan oleh Penerbit Pohon Cahaya.

Sangat mengesankan membaca catatan sebuah perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki. Tanpa membawa bekal makanan atau uang. 450 km tentu sebuah jarak yang sangat jauh ketika harus ditempuh dengan berjalan kaki. Bagaimana kalau lapar. Bagaimana kalau haus. Atau, kehujanan. Atau, kemalaman. Atau, sakit.

Buat apa capek-capek berjalan kaki sangat jauh?. Apa yang didapat dengan melakukan itu semua selain mendapatkan rasa capek, laper atau haus? Atau bahkan ditolak, dilecehkan, dicurigai ketika meminta bantuan kepada orang lain.

Perjalanan seperti ini ada yang mengistilahkan dengan sebutan perigrinasi. Secara umum, perigrinasi diterjemahkan sebagai perjalanan dari satu tempat ke tempat lain utamanya dengan berjalan kaki.

Berjumpa Dengan Sesama, Berjumpa Dengan (Penyelenggaraan) Tuhan

Suryadi Prajitno melakukan perjalanan itu sebagai bagian dari proses pemurnian diri yang merupakan bagaian dari proses studi. Bahwa setelah menerima bekal pembelajaran sekian lama, pada suatu titik seluruh proses itu harus dikritisi lagi. Diuji lagi. Dimurnikan lagi.

Banyak yang hanya membekali diri dengan dengan serentetan referensi dan setelah itu membangun benteng pertahanan-diri dalam comfort-zone. Rererensi itu kemudian lebih banyak digunakan untuk menjadi semacam senjata pertahanan dan peluru serangan yang siap ditembak-lontarkan sebagai pembenaran. Hari-hari belakangan ini, kita mendapati banyak sekali contoh. Referensi ilmu yang seharusnya menjadi peneguhan dan penghiburan bagi sesama tetapi dikoyak-pelintirkan untuk kepentingan praktis jangka pendek, bahkan bersifat politis.

Perjalanan tanpa bekal uang dan makanan itu adalah untuk menguji mental dan keteguhan. Apakah dalam kepapaan masih cukup bernyali untuk menyerahkan diri pada penyelenggaraan Tuhan. Bahwa Tuhan masih menyertai dan menyediakan yang dibutuhkan.

Dengan menjumpai penolakan, kecurigaan, ketidak-percayaan atau pelecehan apakah masih percaya kepada kebaikan Tuhan. Dengan menjumpai dukungan, bantuan, belarasa apakah lalu menjadi lebih berani bersyukur (hal222-229).

Keberanian untuk melihat-refleksikan rangkaian peristiwa yang tidak diharapkan dan peristiwa yang menjadi curahan rahmat dalam peristiwa hidup sehari-hari dengan banyak ragam dinamikanya apakah dapat menjadi peneguhan hati dan diri. Benarkah Tuhan dapat dijumpai dalam banyak peristiwa hidup. Benarkah Tuhan sungguh hadir dan mendampingi langkah hidup, dalam susah dan senang. Dalam sehat dan sakit. (hal 229-230)

Hanya dengan kejujuran pada diri dalam menyikapi semua peristiwa hidup, maka intuisi untuk melihat Tuhan melalui perjumpaan dengan sesama akan terasah dan semakin tajam (hal 230).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun