Menikah Itu Murah, yang Mahal Itu Gengsinya
Kita sering mendengar ungkapan di atas. Hati kecil pasti setuju, apalagi jika harus menikah in this economy yang semua sedang serba mahal dan carur-marut. Hanya saja ego dan gengsi yang sering mengingkarinya.Â
Menikah di KUA cukup dengan biaya yang minim, asal memenuhi rukun nikah; adanya mempelai (pria dan wanita), dua orang saksi, adanya wali bagi mempelai perempuan, ijab qabul dan mahar.
Namun sayangnya, dalam masyarakat modern sendiri, menikah seringkali dianggap sebagai sebuah acara yang mahal dengan segala tuntutannya (harus ini itu, ada itu dan anu). Tidak heran jika banyak orang yang malah menunda-nunda pernikahan karena menganggap bahwa menikah itu mahal dan butuh biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, banyak yang terjerumus dalam zinah karena tidak mampu menahan hawa nafsu.
Sebenarnya, menikah itu murah. Yang mahal itu gengsinya. Banyak orang yang ingin menunjukkan status sosial mereka melalui pernikahan, sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi sangat besar. Belum lagi, tentang wedding dream yang diidam-idamkan, menuntut pasangan mengeluarkan biaya yang besar demi konsep pernikahan ideal yang diinginkan.
Tidak hanya ketika menikah, bahkan sebelum acara sakral itu dimulai pun biaya sudah membengkak untuk keperluan prewedding, sewa dekor, cetak undangan yang eksklusif, souvenir yang wah dan tentunya MUA dan wardrop yang gak kaleng-kaleng. Menu makanan juga harus bagus, jadinya harus dikerjakan oleh profesional. Dan banyak lagi hal-hal yang menyedot isi biaya besar.
Ketika susah payah kita menekan ego dan gengsi, berniat menikah dengan menyesuaikan budget yang dimiliki, tetapi keinginan pasangan lain lagi. Katanya, "malu sama yang lain," atau "ini kan satu kali seumur hidup, masa gak dibuat meriah dan wah?" Tidak jarang pihak keluarga mempelai yang terpaksa berutang banyak demi mewujudkan konsep pernikahan impian.
Namun, apakah gengsi itu benar-benar penting?
Dalam Islam, menikah dianggap sebagai sebuah ibadah yang sangat penting. Menikah adalah cara untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sehingga mereka tidak berbuat zinah. Menikah juga dapat mendatangkan banyak manfaat, seperti meningkatkan keimanan, memperluas keluarga, dan mendekatkan rejeki.
Karena itu, menikah sangat bergantung kepada niat kedua mempelai. Jika saja keduanya meluruskan niat bahwa menikah adalah untuk ibadah, maka cukuplah menyatu dengan akad yang sakral meski hanya di kantor KUA, yang penting memenuhi rukun nikah tadi.
Keluarga kedua belah pihak pun sebaiknya menyatukan tekad untuk mendukung niat ibadah kedua mempelai tanpa takut cap buruk para tetangga karena tidak menyelenggarakan resepsi besar-besaran. Sebab sejatinya, yang lebih butuh biaya adalah setelah pernikahan itu sendiri. Jadi, jangan sampai pontang-panting menghabiskan biaya hanya untuk sebuah pesta yang mewah dan wah.