"Lagi apa, Bang?"
Suara ibuku di ujung telefon. Panggilan 'Abang' melekat kepadaku karena aku adalah anak pertama dari empat bersaudara.Â
"Lagi diam saja, Ma," jawabku jujur.Â
"Lebaran ini pulang? Mama dan Bapak rindu," kata Ibuku. Nada suaranya pilu.
"Aku mohon maaf, dan keridoan Mamah dan Bapak, jika seandaikan aku tak bisa berkumpul lebaran ini, Ma," jawabku. Wabah Corona dan aturan PSBB memang tidak memungkinkan untuk sembarangan pulang kampung. Maksa, bisa saja. Namun rasanya terlalu terlihat bodoh saat aku paham betul bahwa sebagai umat yang baik, harus taat dan patuh kepada pemimpin. Pengetahuanku akan bahaya virus itu pun menyakinkanku bahwa apapun yang terjadi aku akan berusaha bersabar untuk tetap tinggal.
"Apa kabar Ayu?" tanya ibuku.Â
Seketika, pertanyaan itu membuat lidahku kelu. Membuat degup jantung ang tidak beraturan. Bagaimana bisa pertanyaan itu kembali hadir di telingaku.Â
"Belum komunikasi lagi, Ma," jawabku.
Selanjutnya ibuku bercerita tentang rasa rindunya kepada sang menantu, "Dulu, berapa hari sebelum lebaran, pasti ayu bantu Mama pilihkan model pakaian ya, Bang..." Nada suara ibuku semakin berat, aku tahu, di sana ibuku sedang menahan isak tangisnya. Aku lebih memilih diam.
"Ya sudah, kamu baik-baik ya di sana kalau memang tidak bisa mudik."
"Iya, Ma, kita saling mendoakan saja," kataku sekenanya.