Kaidah Pertama, adanya perubahan, perpindahan, dan pergantian keadaan.
Allah menakdirkan dua hal berlawanan. Apabila sesuatu telah sampai pada batasnya, ia akan berubah menjadi kebalikannya. Apabila malam sudah mengambil bagiannya dan telah menghabiskan perjalanannya, ia akan disusul sang fajar. Ini aturan baku dan tidak bisa diubah sampai kapan pun. Apabila siang sudah menghabiskan waktunya yang telah ditentukan, ia akan digantikan malam. Siang dan malam mempunyai waktu dan batasan masing-masing.
Aturan ini berlaku pula pada hitungan jam, hari, bulan, tahun, musim-musim dalam setahun, waktu berbuah, wakt panen, beban yang harus ditanggung, kesehatan, sakit, kepemilikan, kekayaan, kemiskinan, kesempitan, kelapangan, kesenangan, kesedihan, perjumpaan, perpisahan, kecintaan, kebencian, kemuliaan, kehinaan, kekayaan, kekurangan, kemenangan, kekalahan, keberhasilan, kegagalan dan sifat-sifat serta keadaan-keadaan lainnya. Itulah yang dikehendaki Allah bagi kehidupan dunia ini. Itulah ketetapan-Nya bagi semua makhluk-Nya. Pergantian dan perputaran keadaan akan senantiasa ada selama roda dunia masih berputar.
Dari realitas tersebut, kita dapat mengambil hikmah bahwa kesempitan di dunia tidak ada yang abadi. Cepat atau lambat ia pasti berlalu dan digantikan kelapangan. Kesulitan pasti digantikan kemudahan. Sebab jika tidak, hal itu akan mengurangi nilai kekuasaan Yang Mahakuasa, bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Yang Mahakuasa, dan berlawanan dengan kehendak Yang Maha Mengetahui. Tidak mungkin ada sesuatu yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya atau berlawanan dengan kehendak-Nya. Tidak akan ada perubahan dan penyimpangan pada ketetapan Allah.
Kaidah Kedua, semua kesulitan pada mulanya besar, kemudian akan mengecil. Kepanikan yang ditimbulkan tidak akan berlangsung lama, benturan dan tekanan yang dimunculkan terjadi pada awalnya saja. Lalu mengerut, mengecil dan akhirnya menghilang. Seperti luka yang menganga dan menebarkan rasa nyeri pada awalnya, secara pelan tapi pasti rasa nyeri itu berkurang, kemudian hilang sama sekali dan akhirnya sembuh.
Kita harus sabar pada benturan pertama supaya kita beroleh pahala. Kesenangan membuat kita bersukacita dan datangnya musibah secara mendadak membuat kita terkejut. Sabar pada benturan pertama merupakan ciri khas orang mulia.
Ketika kita ditimpa musibah, jangan mengira bahwa kita akan menderita seterusnya. Tertimpa musibah memang menyakitkan, tetapi tidak akan selamanya demikian. Musibah itu seperti tamu. Ia pasti akan meninggalkan kita. Sedikit demi sedikit menjauh lalu menghilang sampai akhirnya benar-benar tidak kelihatan.
Salah satu kasih sayang dan kebaikan Allah adalah Dia memberi kita kekuatan jiwa agar siap menghadapi walaupun dengan susah payah, dan kesiapan untuk beradaptasi dengan berbagai kesulitan walaupun banyak mengeluh. Musibah tidak akan menghabisi kita seperti maut. Musibah diturunkan dengan tujuan menyucikan, menguji, memberi pelajaran, dan menghapuskan dosa.
Kaidah Ketiga, tanpa ada musibah kita tidak akan mengetahui nilai sebuah nikmat, ketenangan, dan kesehatan. Ketika tertimpa musibah akan merasakan betapa bernilainya dan betapa indahnya sebuah nikmat. Seandainya kita tidak pernah tertimpa musibah, kita tidak akan merasakan lezatnya nikmat. Kita akan merasa bosan. Semua nikmat yang kita dapatkan terasa hambar. Namun, begitu kita dibenturkan dengan sebuah musibah, kita akan menyadari dan mengingat hari-hari yang menyenangkan dan saat-saat yang menggembirakan. Dan pada saat benturan musibah itu berlalu, kita akan menghargai sebuah nikmat dengan mensyukurinya dan mengikatnya dengan ketaatan. Itulah yang dirasakan oleh orang-orang yang mengenal sunnah Allah dalam musibah.
Jika seseorang tidak pernah merasakan pahitnya sebuah penderitaan, engkau akan melihat hidupnya gelisah dan bingung, lantaran ia hanya menjalani satu kondisi yang statis dan membosankan. Berlama-lama dalam satu keadaan pasti akan memberatkan. Pergantian dari satu keadaan ke keadaan lainnya melahirkan satu kenikmatan, kegembiraan dan kesenangan tersendiri. Itu hanya bisa dirasakan orang-orang yang tertimpa musibah.
Abu Tamam bersyair: