Kemarin saya baca postingan seorang Kompasioner yang mengeluhkan tentang susahnya berbahasa Jawa karena terdiri atas tiga tingkatan: krama alus, krama madya, ngoko. Â Ya, bahasa Jawa memang termasuk bahasa yang susah dipelajari. Masih mendingan, karena bahasa Jawa tak mengenal gender. Tak pula mengenal tunggal-jamak.
Memang sulit. Bahkan teman yang asli Jawa saya sering tak bisa membedakan ucapan  wedi (takut) dengan wedhi (pasir). Batuk dengan bathuk (dahi).  Enthog (bebek) dengan enthok (hanya) dan entuk (dapat). Kretek (rokok) dengan kreteg (jembatan).
Parahnya, banyak yang menulis mata menjadi moto (harusnya mata karena moto berarti mengambil gambar dengan kamera). Rosa-nya alm. Mbah Marijan, akhirnya ditulis roso, dan dibaca roso juga. Kalau yang itu mungkin maknanya masih bisa ditolerir. Â Lara yang dalam bahasa Jawa artinya sakit, biasa ditulis loro. Padahal loro artinya dua.
Contoh berikut mungkin sedikit menggelitik. Paijo disuruh mengartikan kalimat dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa.
Istriku sakit perut: Bojoku loro weteng, harusnya: Bojoku lara weteng.
Perut istriku sakit: Wetenge bojoku loro. ( Perut istriku dua) (hahaha...)
Istriku sakit: Bojoku loro. (Istriku dua)
Selanjutnya, Paijo dikejar istrinya yang kebetulan sedang mencincang daging dan istrinya lupa kalau ia membawa pisau. Diacungkannya pisaunya ke arah suaminya yang lari terbirit-birit.