Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertemuan Tak Terduga

15 Maret 2019   17:34 Diperbarui: 15 Maret 2019   17:55 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah melihat kamar dan dipan yang akan aku tempati dan meletakkan bungkusan pakaianku disana, kami kembali ke kantor panti.

Ditengah kesibukannya bekerja, aku sempat ngobrol dengan uni Yus, hingga akhirnya aku tahu kampungnya, yaitu, Bancah. Di kaki bukit barisan, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari kampungku. Sekampung dengan sumandoku, suami kak Inan, kakakku tertua. Yang membuat aku semakin akrab dengan dia adalah nama mereka sama, Yuslinar. Diapun mengatakan kalau dia mengenal kedua kakakku yang lain, Ipah dan Pidan. Obrolan kami tentang ketiga kakaku itu, membuat aku terkenang dengan mereka, yang karena telah kehilangan orang tua terpaksa berpisah dan merantau dengan kehidupan masing-masing.

Bunyi bel yang terbuat dari potongan besi yang digantung di teras sekolah, terdengar hingga ke tempat kami berada. Tak lama berselang satu persatu para anak asuh yang tinggal di panti kembali dari sekolah mereka, dan langsung masuk ke kamar masing-masing. Panti yang sejak aku datang sepi, tiba-tiba saja ramai oleh suara mereka. Sebagai anak baru, aku tidak berani melihat mereka, lebih tepatnya malu. Karena tak seorangpun dari mereka yang aku kenal. Sehingga aku hanya duduk diam bersembunyi di ruangan kantor.

Uni Yus yang tadinya duduk sambil bekerja, sejenak lalu berdiri dan berjalan keluar kantor. Tinggallah aku bersama ibu Nursyam di ruangan. Tak lama kemudia aku mendengar beberapa langkah mendekat dan lalu masuk kantor. Karena tak ingin dilihat oleh mereka yang masuk, aku hanya diam menunduk di kursi sambal mempermainkan jari-jari tanganku. Uni Yus yang sudah kembali duduk di kursinyapun tidak aku perhatikan. 

 "Lai tau ang sia tu...?" Tanya ibu Nursyam memecah keheningan sambil melihat dan tersenyum padaku, sementara tangannya menunjuk ke arah pintu, ketika salah seorang anak asuh yang baru saja pulang sekolah, muncul dan masuk ke dalam kantor.

Dengan kepala yang terasa berat untuk berpaling, aku melihat ke arah pintu.  Pelan-pelan terlihat olehku di sana berdiri seorang anak laki-laki yang badannya tidak berbeda jauh dengan ku, hanya lebih tinggi. Aku kaget, dia Uda Des!

Ketika ibu Nursyam kembali mengajukan pertanyaannya, sambil tersenyum malu aku menjawab: "Lai..."

"Sia tu?" 

"Uda den..." 

Uda Des lalu mendekat ke tempat aku duduk, lalu berdiri di sampingku dan memegang pundakku. Aku tak menyangka sama sekali, kakak kandungku Des yang sudah beberapa tahun tak pernah bertemu, rupanya sudah lebih dulu masuk ke Panti Asuhan ini tanpa pernah kuketahui, karena keluarga di kampungpun tak pernah mengatakannya.

Aku tidak tahu apa yang akan aku ucapkan saat itu, sejenak aku tersenyum kepadanya, lalu kembali menundukkan mukaku. Aneka perasaan membuncah di dalam dadaku, bahagia, sedih, bolak balik tanpa bisa aku tahan. Wajah umipun singgah di hadapanku, juga kakak-kakaku yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun