Mohon tunggu...
Diah Permata
Diah Permata Mohon Tunggu... Administrasi - Pengagum karya Buya Hamka

mecintai sesama itu harus, tapi mencintai diri sendiri itu juga penting

Selanjutnya

Tutup

Money

Rakyat Diburu di Tengah Pandemi

4 Juli 2020   11:48 Diperbarui: 4 Juli 2020   11:51 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masyarakat yang terbebani disaat pandemi. Sumber: Media Konsumen

Sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga new normal seperti saat ini, bercengkrama dengan tetangga adalah sebuah kesibukan baru di pagi hari. Banyak hal-hal yang mengejutkan yang saya temukan dari obrolan-obrolan tersebut. Mulai dari keluhan nasib mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), tarif listrik melonjak dan tak dapat ditunda, BPJS Kesehatan yang naik 100 persen, hingga belanja online yang juga ikut "dipalaki".

Seperti kesaksian salah seorang tetangga saya yang suaminya terdampak PHK oleh perusahaannya, dia mengaku terkejut didatangi petugas PLN yang memberikan surat tagihan rekening listrik. Saat itu, akunya baru tanggal 23. Dengan artian lain, dia baru terlambat 3 hari untuk membayar tagihan listrik.

Dia sempat melampiaskan kekesalannya kepada petugas PLN yang mengantarkan tagihan listrik tersebut. Dia menanyakan, apakah tidak ada toleransi dari perusahaan plat merah itu terhadap masayrakat yang terdampak pandemi seperti saat ini. Padahal dua bulan belakang, meskipun tagihan listriknya membengkak dia tetap mengusahakan pembayaran tepat waktu. Namun petugas tersebut bergeming, dia mengaku hanya ditugaskan mendistribusikan surat-surat tagihan tersebut.

Keluhan juga diungkapkan tetangga saya lainnya. Dia mempunyai seorang anak yang mengalami masalah kesehatan dan mengharuskan kontrol rutin setiap bulannya. Selama ini, dia mengaku menggunakan BPJS Kesehatan kelas I untuk mendapatkan pelayanan kesehatan maksimal demi kenyamanan proses pengobatan si buah hatinya.

Dia mengaku, sebelum BPJS Kesehatan naik 100 persen 1 Juli 2020 lalu, ia sebenarnya sudah krasak-krusuk untuk membayar iuran bulanan. Tapi lagi-lagi demi pelayanan kesehatan yang nyaman dan maksimal untuk buah hatinya, semua hal tersebut diupayakannya. Sekarang dan kedepannya dia mengaku pusing, karena harus menyediakan uang Rp 750.000 (150 ribu dikali lima orang di dalam KK) setiap bulannya untuk bisa melanjutkan layanan kesehatan di kelas I tersebut.

Padahal menurutya, sang suami setiap bulan hanya membawa uang sebesar Rp 1.900.000, setiap bulannya. Saat ini, anak sulungnya juga sedang membutuhkan biaya karena masuk ke SLTA. Belum lagi bayang-bayang PHK yang berhembus di lingkungan kantor suaminya turut membuat ia semakin gelisah dengan ekonomi keluarga dan kesehatan anak bungsunya dan masa depan pendidikan anak-anaknya.

Seperti mahfum kita ketahui, pemerintah memberikan himbauan tentang tatanan masyarakat baru atau new normal. Tatanan baru ini merubah banyak perspektif dalam sendi kehidupan manusia. Jika dulunya sekolah konvensional melakukan proses belajar mengajar (PBM) secara tatap muka, kini dilakukan secara daring. Bahkan jika dulu kita untuk melengkapi kebutuhan dapur harus ke pasar atau pusat perbelanjaan lainnya, kini akibat pandemi dan pembatasan-pembatasan yang ada membuat masyarakat memilih belanja online sebagai pilihan yang lebih aman.

Hal ini juga menjadi bahan pergunjingan tetangga saya, pasalnya dari pemberitaan yang beredar, belanja online juga turut dipajaki dan dibebankan kepada konsumen dengan besaran 10 persen dari harga beli. Hal tersebut menurut pemerintah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Ini menjadi simalakama baru, belanja secara konvensional takut Covid-19, belanja online harus mengeluarkan uang ekstra, dan tak belanja "disalahkan" pemerintah karena akibat daya beli rendah ekonomi negara akhirnya menjadi turun.

Dari tiga fenomena yang menjadi bahan perbincangan emak-emak di pagi hari ini melihatkan kesan, negara sedang tidak melindungi warganya. Hukum rimba diberlakukan, yang kuat dialah yang akan bertahan. Kebijakan demi kebijakan yang keluar tak lebih dari sekedar upaya memburu masyarakat lemah di tengah pandemi.

Saya sepakat dengan pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui akun Twitter @AgusYudhoyono yang mengatakan, "Pemerintah perlu lebih sensitif dan responsif terhadap situasi berat yang sedang dihadapi para pekerja serta dunia  bisnis."  Jadi new normal tidak hanya menjadi kewajiban rakyat semata dalam mengahdapi pandemi, tapi juga menjadi new normal morality, new normal sensitivity, dan new normal responsibility pemerintah dalam menyikapi permasalahan ralkyat dalam berjuang melawan pandemi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun