Mohon tunggu...
Diah Nugrahani Pristihadi
Diah Nugrahani Pristihadi Mohon Tunggu... Dosen - Profesi Kedokteran Hewan

Ketertarikan khusus di bidang embriologi, fisiologi, farmakologi, dan toksikologi perkembangan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Sampai Kapan Kita Mengorbankan Hewan untuk Penelitian?

2 Februari 2023   21:35 Diperbarui: 2 Februari 2023   21:39 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Penggunaan hewan untuk menujang suatu penelitian adalah hal yang umum ditemui. Hal ini dikarenakan hewan ditemukan dapat memodelkan proses fisiologis normal tubuh ataupun proses patologis tubuh saat terjadi infeksi. Selain itu, mengorbankan hewan tentu saja lebih lebih rendah tingkat ‘kesadisannya’ daripada langsung menggunakan manusia sebagai objek studi. Manusia pun juga tidak mau menjadi ‘kelinci percobaan’ sebelum suatu bahan ataupun treatment kepadanya dinyatakan aman pada hewan. Karena hal-hal inilah sudah berabad-abad lamanya (tepatnya sejak masa peradaban Yunani Kuno atau sekitar 500 SM hingga kini), hewan menjadi salah satu subjek standar penelitian.

Hewan yang sering ‘dikorbankan’ untuk penelitian ini meliputi hewan laboratorium tradisional (seperti tikus, mencit, kelinci, marmut, katak, dan primata) ataupun jenis hewan lain yang dialih-fungsikan kebermanfaatannya menjadi hewan penunjang penelitian, pengujian, ataupun pendidikan. Jenis hewan yang dimaksud adalah hewan produksi (ayam, sapi, kambing, domba, babi, dsb), hewan peliharaan (anjing, kucing, dsb), hewan dari golongan amfibi, reptil, ikan, hewan eksotik, ataupun hewan liar. Hewan-hewan laboratorium ini memegang peranan penting untuk menunjang perkembangan pengetahuan proses biologi, fisiologi, biokimia, farmakologi, patologi, imunologi, toksikologi, bahkan telaah proses kematian sekalipun.

Saat ini, perkembangan peradaban manusia juga mendorong dinamika sains penelitian untuk mencapai titik baru. Kemajuan teknologi berupa alat-alat modern telah melahirkan teknologi propagasi sel dan jaringan di luar tubuh makhluk hidup (teknologi kultur in vitro). Melalui teknik ini, peneliti cukup menggunakan bagian kecil tubuh hewan untuk melakukan eksplorasi. Hal ini berimplikasi positif pada penekanan jumlah nyawa hewan yang dikorbankan dalam sebuah penelitian.

Teknologi terbaru lain yang mendukung penurunan pengorbanan hewan untuk penelitian juga datang dari bidang komputasi. Dewasa ini, sudah bermunculan beberapa perangkat-perangkat lunak pemodel proses fisiologis tubuh. Melalui perangkat ini, peneliti dapat ‘mengamati’ respons tubuh dengan tidak mengorbankan hewan. Peneliti hanya perlu mengunggah data, kemudian terjadi proses komputasi di dalam aplikasi yang kemudian diikuti dengan pengeluaran ‘jawaban’ oleh aplikasi sebagai sebuah hasil penelitan. Jawaban ini tentunya tidak asal-asalan. Aplikasi-aplikasi tersebut sudah diprogram berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang langsung menggunakan hewan (in vivo).

Ke depannya, dengan semakin banyak dilakukan proses input data penelitian, semakin cepat terjadi pengumpulan ‘big data’. Adanya big data ini semoga dapat menjawab kompleksitas proses biokimia yang ada di dalam tubuh hewan yang selama ini belum dapat diterjemahkan baik dengan teknologi in vitro ataupun aplikasi teknologi komputasi pemodel fungsi tubuh. Kompleksitas biokimia tubuh menyebabkan terjadinya banyak kemungkinan respons tubuh meski dengan perlakuan yang sama. Garam inggris misalnya, diberikan pada mencit secara oral menyebabkan diare. Di sisi lain, pemberian garam inggris secara injeksi pada mencit menyebabkan efek anestesi.

Pemanfaatan hewan untuk penelitian rasanya akan terus dilakukan selama tantangan kompleksitas biokimia tubuh ini belum terjawab. Hewan terpaksa dikorbankan untuk menjamin manusia mendapatkan risiko minimal terhadap paparan ataupun treatment tertentu. Atau ke depannya, seiring perkembangan teknologi dan big data¸ pengorbanan hewan laboratorium tidak lagi sebagai garda terdepan penelitian, tetapi sebagai end point atau media pembukti terakhir setelah penelitian in vivo ataupun penelitian komputasi dilakukan.

Apapun skema yang terjadi, pengorbanan hewan dalam sebuah penelitian dilindungi oleh kode etik penelitian. Seorang peneliti harus meyakinkan komisi etik hewan telah memenuhi kaidah 3R, yaitu Replacement (memastikan penggunaan hewan dengan tingkat paling rendah yang masih mengakomodir desain penelitian), Reduce (mengorbankan sejumlah hewan secara seminimal mungkin dengan memperhatikan aturan pengambilan sampel), dan Refinement (menjamin pemulihan kembali hewan-hewan yang telah diberi perlakuan jika tidak dilakukan euthanasia pada akhirnya). Selain itu, peneliti juga harus memenuhi kaidah kesejahteraan hewan selama penelitian berlangsung. Hewan penelitian harus bebas dari haus, lapar, ketidaknyamanan, sakit, luka, penyakit, ketakutan, stres, dan dapat mengekspresikan behaviour alamiahnya selama penelitian berlangsung.

Pemberhentian pengorbanan hewan untuk penelitian mungkin juga tidak lama lagi terjadi. Kompleksitas rahim konon sudah mulai termodelkan dalam mesin rahim artifisial. Mesin ini menjadi salah satu temuan fenomenal dunia di tahun 2021. Dengan mesin ini, Aguilera-Castrejon dan tim (peneliti asal Weizmann Institute of Science, Israel) sudah dapat mengembangkan dan mengeksplorasi perkembangan ratusan fetus mencit hingga fase pembentukan organ (organogenesis). Dari temuan ini, kompleks organ apalagi yang dapat kita modelkan? Jadi masih seberapa jauh kita berhenti dari mengorbankan hewan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun