Kaget dan perasaan aneh bercampur menjadi satu saat saya membaca notif dari Kompasiana untuk membagikan cerita horor di sekitar kita.Â
Awalnya saya enggan untuk menulis semua ini. Karena selama ini saya tak mau membicarakannya. Selama ini saya hanya membaginya  teman Kompasianer yang dengannya saya biasa chating, saya selalu berbagi cerita ini. Meskipun beliau tak mempercayai cerita saya, tapi beliau selalu menampung cerita ngalor ngidul saya,....Â
Kembali saya teringat ada beberapa artikel beliau yang dimuat di Kompasiana. Beliau  seringkali saya beri label sebagai Manusia Kuburan. Maafkan saya belum bisa menyebutkan nama beliau di sini.
Indigo.Â
Beberapa orang menyebut saya seperti itu. Saya sendiri tak pernah tahu apakah saya seorang indigo atau bukan. Tak pernah memperdulikan sebutan itu pula. Sejak kecil saya melihat dan mendengar apa yang orang lain tak pernah dengar dan lihat.Â
Masa kecil saya, tinggaldi rumah nenek dan kakek di Sragen. Di depan rumah beliau yang terletak tepat di belakang Pabrik Gula Modjo tumbuh pohon-pohon bambu besar. Saya suka sekali bermain di sana. Bagai hutan kecil untuk saya.
Hampir setiap malam, saya ingat betul. Saya selalu mendengar suara tawa beberapa wanita. Karena penasaran, saya selalu bangun dan melihat keluar. Dan, memang tak ada siapapun di sana malam itu, maupun setiap malam saya mendengar suara wanita-wanita itu.
Dan, ya, karena saya tak pernah mengerti apa yang terjadi, semua anggota keluarga saya tanyai dan mereka tak pernah mendengar apa pun yang saya dengar.Â
Hingga akhirnya, setiap sore hari mulai pukul enam sore saya menutup tirai jendela kamar Uti dan Kakung (Kakek dan Nenek), jendela sebelah samping rumah dan bagian depan, semua saya tutup. Tentu saja saya sendirilah yang harus memastikan semua pintu tertutup rapat. Terkunci.
Seiring pertumbuhan saya, kemampuan untuk mendengar itu pun mulai memudar. Saya senang, karena tak pernah ada yang "mengganggu" aktivitas saya lagi.Â