Suatu pagi di sebuah sekolah menengah, seorang guru bertanya kepada siswanya, “Apa cita-cita kalian ketika dewasa nanti?” Sebagian besar menjawab dengan cepat, “Menjadi YouTuber, influencer, atau selebritas.” Tidak ada yang salah dengan jawaban itu, tetapi sang guru hanya tersenyum sambil bertanya kembali, “Lalu, apa yang ingin kalian berikan untuk orang lain melalui cita-cita itu?” Pertanyaan tersebut membuat ruang kelas hening beberapa saat. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi, jawaban tentang “makna” dan “nilai” sering kali terlupakan. Pendidikan yang semula menjadi tempat untuk menumbuhkan manusia seutuhnya dalam berpikir, berperilaku, dan berjiwa. Namun, kini kerap terjebak pada angka, peringkat, dan pencapaian material.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana dunia pendidikan perlahan kehilangan “jiwanya”. Padahal, dalam pandangan filsafat idealisme, pendidikan sejatinya bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga pembentukan nilai-nilai moral, kebenaran, dan keindahan hidup. Idealisme menempatkan manusia sebagai makhluk berpikir dan bernilai, bukan hanya pekerja atau pengguna teknologi. Maka, di tengah kemajuan zaman yang penuh tantangan, idealisme menjadi cermin untuk menemukan kembali arah sejati pendidikan: memanusiakan manusia. Filsafat idealisme berpijak pada keyakinan bahwa realitas tertinggi bukanlah benda atau materi, melainkan pikiran, ide, dan nilai-nilai yang bersifat abadi. Idealisme memandang dunia fisik sebagai bayangan dari dunia ide, yang justru lebih hakiki dan sempurna. Dengan kata lain, manusia tidak hidup hanya berdasarkan pengalaman indrawi, tetapi juga digerakkan oleh nilai-nilai dan cita-cita luhur yang bersumber dari akal budi dan kesadaran moralnya.
Plato, sebagai tokoh utama aliran ini, menegaskan bahwa pendidikan adalah proses untuk “mengingat kembali” (anamnesis) kebenaran sejati yang telah ada dalam jiwa manusia sejak awal. Ia meyakini bahwa setiap manusia memiliki potensi kebenaran dan kebajikan dalam dirinya, dan tugas pendidikan adalah membantu peserta didik menemukan kembali pengetahuan sejati itu. Dalam konteks pendidikan modern, pandangan ini dapat dimaknai sebagai ajakan agar proses belajar tidak sekadar menjejalkan informasi, tetapi membimbing peserta didik menemukan makna di balik setiap pengetahuan.
Misalnya, dalam pelajaran sejarah, seorang guru idealis tidak hanya meminta siswa menghafal tahun dan peristiwa, tetapi juga mengajak mereka merenungkan nilai moral dari peristiwa tersebut, seperti perjuangan, kejujuran, dan pengorbanan. Dengan cara ini, siswa belajar memahami bahwa ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan kehidupan dan nilai kemanusiaan.
Demikian pula dalam pembelajaran matematika atau sains, pendekatan idealisme mengajak siswa melihat keindahan dan keteraturan di balik hukum-hukum alam, bukan sekadar menyelesaikan soal. Misalnya, ketika mempelajari hukum Newton, guru dapat mengaitkannya dengan refleksi tentang keteraturan alam semesta dan kebesaran ciptaan Tuhan. Hal ini menumbuhkan rasa kagum, syukur, dan kesadaran spiritual dalam hal nilai yang juga termasuk dalam ranah idealisme. Dalam kerangka idealisme, guru memiliki peran sentral sebagai pembimbing moral, intelektual, dan spiritual. Guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan teladan dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan kebajikan (truth, beauty, and goodness). Melalui keteladanan dan hubungan personal yang penuh empati, guru membantu siswa memahami makna hidup dan tanggung jawabnya sebagai manusia.
Sebagai contoh, seorang guru Bahasa Indonesia yang idealis tidak hanya menilai hasil karangan siswa dari segi tata bahasa, tetapi juga dari pesan moral dan kejujuran ekspresi diri. Guru akan mendorong siswa menulis dengan hati, mengungkapkan pandangan dan pengalaman hidup yang jujur, sehingga karya tulis menjadi sarana pembentukan karakter dan kepekaan batin. Selain itu, pendekatan idealisme juga menekankan pentingnya disiplin batin dan refleksi moral. Dalam praktik pendidikan, hal ini bisa diwujudkan melalui kegiatan seperti renungan pagi, diskusi nilai, pembelajaran kontekstual berbasis kehidupan nyata, dan pembiasaan perilaku baik di sekolah. Melalui proses tersebut, siswa tidak hanya tumbuh menjadi individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter luhur, memiliki tujuan hidup, dan menghargai nilai-nilai universal.
Dunia modern menghadirkan kemajuan luar biasa dalam bidang teknologi, sains, dan komunikasi. Kita hidup dalam era di mana informasi dapat diakses hanya dalam hitungan detik, dan kecerdasan buatan mampu menggantikan sebagian besar pekerjaan manusia. Namun, di balik pesatnya kemajuan ini, muncul tantangan serius bagi dunia pendidikan, yaitu pergeseran orientasi dari nilai menjadi hasil, dari manusia menjadi sistem. Sistem pendidikan saat ini kerap terjebak dalam paradigma “pendidikan industri” di mana peserta didik dianggap sebagai “produk” yang harus memenuhi standar tertentu: nilai ujian, akreditasi, dan peringkat sekolah. Proses belajar sering kali diarahkan pada pencapaian skor, bukan pemaknaan. Hal ini mengikis esensi idealisme yang menekankan pembentukan manusia seutuhnya, bukan sekadar individu yang cakap secara akademik.
Contohnya dapat dilihat dalam fenomena budaya belajar instan. Siswa lebih fokus mencari jawaban cepat melalui internet daripada mengolah pikiran secara mendalam. Guru pun sering kali terjebak pada tuntutan kurikulum dan administrasi, sehingga ruang untuk berdialog, berefleksi, dan menanamkan nilai moral menjadi terbatas. Padahal, di sinilah sesungguhnya inti pendidikan idealis: membantu siswa berpikir kritis, berperilaku etis, dan memahami makna hidup. Selain itu, kemajuan teknologi membawa tantangan dalam bentuk dehumanisasi hubungan pendidikan. Di banyak sekolah, interaksi antara guru dan siswa kini dimediasi oleh layar melalui platform daring, ujian digital, atau pembelajaran berbasis AI. Walau efisien, hal ini berpotensi mengikis nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kepedulian, dan sentuhan emosional yang justru merupakan roh pendidikan sejati. Dalam pandangan idealisme, pendidikan bukan hanya transmisi informasi, melainkan komunikasi hati dan pikiran.
Sebagai contoh konkret, penggunaan learning management system (LMS) dan aplikasi kuis daring memang dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran, tetapi tidak boleh menggantikan proses dialog reflektif antara guru dan siswa. Ketika seorang guru berdiskusi dengan siswanya tentang arti kejujuran dalam kehidupan nyata, atau ketika ia memberi umpan balik dengan empati, di situlah pendidikan idealisme hadir — menghidupkan nilai, bukan sekadar mengukur kemampuan. Lebih jauh, tantangan globalisasi dan budaya kompetitif juga turut menggeser nilai-nilai pendidikan. Keberhasilan sering diukur dari prestasi ekonomi dan status sosial, bukan dari integritas atau kebijaksanaan. Akibatnya, banyak peserta didik tumbuh dalam kecemasan, kehilangan arah hidup, dan minim refleksi moral. Padahal, idealisme menegaskan bahwa pendidikan sejati bertujuan membentuk manusia yang bijak dan berkepribadian luhur, bukan hanya yang sukses secara materi.
Untuk menghadapi tantangan ini, guru dan sekolah perlu mengembalikan ruh idealisme dalam proses pendidikan. Teknologi dan kemajuan sains seharusnya menjadi sarana, bukan tujuan. Penggunaan media digital perlu diimbangi dengan pembiasaan nilai-nilai spiritual, etika, dan empati. Misalnya, melalui proyek pembelajaran berbasis nilai (value-based project learning) di mana siswa diajak meneliti isu sosial, berdialog dengan masyarakat, dan merefleksikan pengalaman mereka dalam konteks moral. Dengan demikian, idealisme hadir bukan sebagai romantisme masa lalu, melainkan sebagai kompas moral di tengah arus modernitas. Ia mengingatkan bahwa pendidikan sejati tidak diukur dari seberapa cepat siswa menguasai teknologi, melainkan sejauh mana mereka mampu menjadi manusia yang berpikir jernih, berperilaku baik, dan berjiwa luhur. Dalam dunia yang semakin canggih namun kerap kehilangan arah, idealisme justru menjadi jangkar nilai yang meneguhkan kembali makna kemanusiaan dalam pendidikan.
Di tengah derasnya arus globalisasi, modernisasi, dan kemajuan teknologi, filsafat idealisme tetap memiliki tempat penting dalam dunia pendidikan. Walaupun pendidikan modern sering berorientasi pada hasil yang terukur seperti nilai ujian, sertifikat, dan kompetensi teknis, pendekatan berbasis nilai-nilai moral, etika, dan spiritual yang ditawarkan idealisme justru menjadi kunci keseimbangan dalam membentuk manusia seutuhnya. Pendekatan pendidikan yang berlandaskan idealisme terbukti mampu memperkuat kreativitas, daya pikir kritis, dan kepekaan moral peserta didik. Guru yang berpegang pada nilai-nilai idealisme berupaya menanamkan makna di balik setiap proses pembelajaran. Mereka tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing siswa untuk memahami kebenaran, keindahan, dan kebajikan. Dalam suasana kelas seperti ini, siswa didorong untuk belajar dengan hati, menghargai proses, serta menumbuhkan karakter dan kesadaran diri.
Di banyak sekolah, penerapan nilai-nilai idealisme dapat terlihat melalui sikap guru yang menekankan kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan empati dalam setiap interaksi. Nilai-nilai tersebut bukan sekadar disampaikan melalui teori, tetapi dicontohkan langsung dalam tindakan sehari-hari. Misalnya, ketika guru menghargai usaha siswa yang jujur meskipun nilainya belum sempurna, atau ketika siswa diajak untuk berdiskusi dan merefleksikan keputusan moral dalam kehidupan nyata, sesungguhnya di situlah idealisme bekerja dalam diam untuk menumbuhkan kesadaran moral dan rasa kemanusiaan. Selain itu, dalam pembelajaran berbasis proyek atau kegiatan sosial, idealisme dapat diwujudkan melalui ajakan kepada siswa untuk meneliti isu-isu kemasyarakatan, lingkungan, atau budaya di sekitar mereka. Melalui kegiatan semacam ini, peserta didik tidak hanya menguasai konsep akademik, tetapi juga belajar mengasah empati, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap sesama. Di tengah dunia modern yang cenderung pragmatis dan kompetitif, idealisme menjadi penyeimbang antara intelektualitas dan spiritualitas. Siswa diajak berpikir rasional sekaligus reflektif; menguasai ilmu pengetahuan tanpa kehilangan kepekaan hati; berprestasi tanpa mengabaikan nilai-nilai moral. Dengan cara inilah pendidikan dapat kembali pada hakikatnya sebagai proses pembentukan manusia yang cerdas, berkarakter, dan bijaksana.
Sekolah dan guru memiliki peran besar untuk menjaga nyala idealisme ini. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap mata pelajaran, menghadirkan keteladanan, dan memberikan ruang bagi refleksi diri, pendidikan akan kembali menjadi sarana pembentukan manusia yang utuh dan bukan sekadar sarana pencapaian karier, tetapi juga perjalanan menuju kebijaksanaan hidup. Dalam pusaran dunia modern yang penuh dengan dinamika dan percepatan teknologi, idealisme hadir sebagai napas yang menenangkan dan menuntun arah pendidikan agar tidak kehilangan jati dirinya. Filsafat ini mengingatkan bahwa hakikat pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan perjalanan batin untuk menemukan makna, nilai, dan kebajikan dalam kehidupan. Pendidikan sejati adalah upaya membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.
Melalui pandangan idealisme, guru dipandang sebagai sosok yang lebih dari sekadar pengajar. Ia adalah pembimbing, teladan, dan penuntun yang menyalakan cahaya pengetahuan sekaligus nurani dalam diri peserta didik. Sementara siswa tidak lagi dianggap sebagai objek pembelajaran, melainkan subjek yang sedang bertumbuh menuju kebenaran dan kebijaksanaan. Dalam ruang kelas yang berjiwa idealisme, proses belajar menjadi dialog antara akal dan hati, antara fakta dan makna.
Meskipun dunia modern membawa tantangan berupa pragmatisme, budaya instan, dan orientasi pada hasil, idealisme tetap menunjukkan relevansinya. Ia mengajarkan keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan, antara kecerdasan dan kebijaksanaan, antara kemajuan dan nilai-nilai luhur. Ketika sistem pendidikan terlalu menekankan capaian akademik, idealisme mengingatkan pentingnya dimensi kemanusiaan yang memiliki empati, tanggung jawab, dan integritas. Oleh karena itu, tugas besar pendidikan masa kini bukan hanya mencetak manusia yang mampu bersaing, tetapi juga membentuk pribadi yang berjiwa luhur, berakar pada nilai, dan berpikir reflektif. Dengan menanamkan semangat idealisme dalam setiap aspek pendidikan dari kurikulum hingga interaksi sehari-hari dan sekolah dapat menjadi tempat tumbuhnya generasi yang tidak hanya mampu menghadapi dunia, tetapi juga mampu memberi makna bagi dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI