Mohon tunggu...
Kadek Diah Arya Sita Saraswati
Kadek Diah Arya Sita Saraswati Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Pendidikan IPA Pascasarjana UNDIKSHA

Do the best, be the best, all the best

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merajut Harmoni Pendidikan: Peran Tujuan Inspirasional, Preskriptif dan Investigasi dalam Membentuk Generasi Masa Kini

24 September 2025   19:17 Diperbarui: 24 September 2025   19:17 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Main Map Filsafat Pendidikan dan Tiga Tujuan Utama

Pendidikan selalu menjadi denyut nadi peradaban manusia. Ia bukan sekadar proses mekanis untuk memindahkan ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan sebuah perjalanan panjang yang membentuk manusia menjadi pribadi yang utuh. Lebih dari sekadar ruang kelas dengan papan tulis dan kurikulum, pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkan potensi manusia, menuntun mereka agar mampu hidup bermartabat, serta memberi arah bagi kehidupan individu maupun masyarakat.
Di balik metode pembelajaran, strategi pengajaran, dan perkembangan teknologi pendidikan, terdapat sebuah fondasi mendalam yang menentukan arah sekaligus makna dari proses mendidik, yakni filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan berfungsi sebagai kompas yang menuntun perjalanan pendidikan agar tidak kehilangan jati diri. Ia memastikan pendidikan tidak hanya mengejar angka, nilai, atau sertifikat, tetapi kembali pada tujuan hakikinya: memanusiakan manusia.
Seperti yang ditegaskan Ki Hajar Dewantara (1935), pendidikan adalah upaya menuntun segala kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan berangkat dari pemahaman filosofis tentang manusia, nilai, serta arah kehidupan.
Dalam literatur, filsafat pendidikan dipahami sebagai refleksi filosofis terhadap hakikat pendidikan itu sendiri. Hasan Langgulung (1992) mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai “teori atau ideologi pendidikan yang muncul dari sifat filsafat seorang pendidik, dari pengalaman-pengalamannya dalam pendidikan dan kehidupan.” Sementara itu, Al-Syaibany (1979) menyebut filsafat pendidikan sebagai “aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.”
Dengan demikian, filsafat pendidikan tidak berhenti sebagai teori abstrak, tetapi hadir sebagai landasan normatif, inspiratif, dan kritis. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apa hakikat manusia yang dididik? Untuk apa pendidikan diselenggarakan? Nilai apa yang harus ditanamkan?. Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin relevan. Dunia pendidikan tidak cukup hanya menjawab tantangan teknis, melainkan juga harus kembali pada fondasi filosofis agar tidak kehilangan makna. Untuk itu, filsafat pendidikan hadir dengan tiga tujuan utamanya: inspirasional, preskriptif, dan investigatif.

1.Tujuan Inspirasional: Menyalakan Api Visi
Filsafat pendidikan pada hakikatnya bukan hanya sekadar refleksi intelektual, melainkan sumber energi moral dan spiritual yang menyalakan api visi pendidikan. Tujuan inspirasional menjadi mercusuar yang mengarahkan langkah pendidik dan peserta didik agar tidak terjebak dalam rutinitas administratif semata. Ia menghidupkan cita-cita besar, bahwa pendidikan harus melahirkan manusia yang merdeka berpikir, kreatif dalam berkarya, serta berkarakter kuat dalam menghadapi dinamika zaman.
Di Indonesia, Kurikulum Merdeka hadir sebagai representasi nyata dari semangat inspirasional tersebut. Kurikulum ini berangkat dari gagasan bahwa setiap anak memiliki kodrat dan potensi unik yang harus diberi ruang untuk tumbuh secara otentik. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel, Kurikulum Merdeka mengajak guru dan siswa untuk keluar dari sekat kaku pembelajaran, menuju suasana belajar yang lebih hidup, relevan, dan membebaskan.
Lebih luas lagi, perkembangan pendidikan digital global dapat melalui platform daring seperti MOOCs yang juga menjadi sumber inspirasi yang merevolusi cara manusia belajar. Pendidikan kini melintasi batas ruang dan waktu, membuka akses bagi siapa saja, di mana saja, tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi. Tanpa tujuan inspirasional, pendidikan akan kehilangan rohnya. Ia mungkin mampu mencetak lulusan yang mahir secara teknis, tetapi kering nilai dan hampa visi. Tujuan inspirasionallah yang memastikan pendidikan tetap menjadi ruang penggemblengan kemanusiaan, tempat generasi muda ditempa agar tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki daya juang, kepedulian, dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.


2.Tujuan Preskriptif: Memberi Pedoman dan Aturan Main
Inspirasi yang luhur tentu penting, namun tanpa arah yang jelas, pendidikan akan mudah kehilangan pijakan. Di sinilah peran tujuan preskriptif menjadi sangat krusial. Tujuan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan, memberi pedoman normatif tentang apa yang seharusnya diajarkan, bagaimana prosesnya, serta nilai-nilai apa yang harus ditanamkan. Jika tujuan inspirasional ibarat cahaya bintang yang memberi arah, maka tujuan preskriptif adalah peta perjalanan yang menuntun setiap langkah agar tidak tersesat.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, Standar Nasional Pendidikan (SNP) hadir sebagai bentuk konkret dari tujuan preskriptif. SNP menetapkan delapan standar pokok yang meliputi isi, proses, penilaian, pendidik, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, hingga kompetensi lulusan. Kehadiran standar ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan pedoman untuk memastikan setiap lembaga pendidikan bergerak pada jalur yang sama, yakni mencetak generasi yang berkualitas dan berdaya saing.
Selain itu, program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) juga menjadi contoh nyata bagaimana preskripsi filsafat pendidikan diterjemahkan ke dalam kebijakan. Lima nilai utama—religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas—ditetapkan sebagai inti dari pendidikan karakter bangsa. Nilai-nilai ini memberi arah bahwa pendidikan tidak boleh berhenti pada capaian kognitif semata, tetapi harus menumbuhkan kepribadian dan moralitas.
Di era modern, khususnya ketika kecerdasan buatan (AI) mulai masuk ke ruang-ruang kelas, tujuan preskriptif kembali menemukan relevansinya. Filsafat pendidikan menjadi dasar dalam merumuskan etika penggunaan teknologi. AI tidak boleh diperlakukan sebagai pengganti manusia, melainkan sebagai sarana untuk memperkaya pengalaman belajar. Di sinilah pentingnya aturan main: bagaimana siswa diajarkan memanfaatkan teknologi secara bijak, kreatif, namun tetap kritis.
Dengan adanya pedoman normatif ini, pendidikan tidak terjebak menjadi proses mekanis yang hanya mengejar angka-angka ujian. Ia menjadi wahana pembentukan manusia seutuhnya—cerdas dalam pikirannya, terampil dalam tindakannya, dan luhur dalam sikapnya. Tanpa tujuan preskriptif, pendidikan hanya akan menjadi jalan yang gelap, penuh kebingungan, dan kehilangan arah. Tetapi dengan tujuan preskriptif, setiap langkah menjadi lebih terarah, sistematis, dan bermakna bagi masa depan bangsa.


3.Tujuan Investigatif: Menghadirkan Kritik dan Evaluasi
Seberapa indah pun visi yang digagas dan seberapa rapi pun aturan yang dibuat, pendidikan akan selalu menghadapi kenyataan yang jauh lebih kompleks di lapangan. Di sinilah peran tujuan investigatif hadir, yaitu membuka ruang evaluasi yang jujur dan kritis. Tujuan ini menuntun kita untuk bertanya: apakah praktik pendidikan yang dijalankan benar-benar sejalan dengan cita-cita luhur yang telah ditetapkan?
Tujuan investigatif tidak dimaksudkan untuk mencari-cari kelemahan atau menuding pihak tertentu, melainkan untuk memastikan bahwa pendidikan tetap berjalan di jalur yang tepat. Kritik yang sehat justru menjadi vitamin agar dunia pendidikan tidak stagnan, tetapi terus berkembang sesuai kebutuhan zaman. Evaluasi adalah bentuk kepedulian, bukan sekadar penilaian. Dalam konteks Indonesia, implementasi Kurikulum Merdeka memberi contoh nyata perlunya fungsi investigatif. Banyak sekolah perkotaan mampu menjalankannya dengan baik karena didukung fasilitas dan tenaga pendidik yang memadai. Namun, di sisi lain, sekolah-sekolah di daerah terpencil masih menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga kurangnya pelatihan guru. Tanpa evaluasi yang kritis, kesenjangan ini hanya akan semakin melebar.
Hal serupa terlihat saat pandemi COVID-19 melanda. Pendidikan jarak jauh memang menjadi solusi darurat, tetapi kenyataan menunjukkan ketidakmerataan akses internet dan perangkat digital di berbagai daerah. Dari sinilah lahir rekomendasi kebijakan, seperti subsidi kuota internet, pelatihan guru dalam literasi digital, serta penguatan konten pembelajaran yang adaptif dengan kondisi siswa. Tujuan investigatif juga relevan di tengah perkembangan teknologi yang sangat cepat. Misalnya, meningkatnya penggunaan gawai dan media sosial di kalangan siswa. Evaluasi kritis diperlukan untuk menimbang dampaknya terhadap konsentrasi belajar, kesehatan mental, dan perkembangan karakter. Dari hasil evaluasi ini kemudian lahirlah kebijakan baru, seperti program literasi digital dan pendidikan etika bermedia. Dengan kata lain, tujuan investigatif adalah cermin bagi pendidikan. Melalui evaluasi yang jujur, pendidikan dapat bercermin pada dirinya sendiri: sudahkah ia benar-benar menuntun anak menuju kebahagiaan dan keselamatan? Atau justru terjebak pada slogan-slogan indah tanpa makna nyata?
Tanpa tujuan investigatif, pendidikan berisiko menjadi menara gading—megah secara konsep, tetapi rapuh dalam praktik. Namun, dengan adanya kritik dan evaluasi yang sehat, pendidikan justru tumbuh sebagai sistem yang tangguh, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan generasi masa kini maupun mendatang.


4.Harmoni dari Tiga Tujuan
Ketiga tujuan filsafat pendidikan yaitu inspirasional, preskriptif, dan investigatif yang pada dasarnya bukanlah entitas yang berdiri sendiri-sendiri. Mereka ibarat tiga pilar yang saling menopang, membentuk bangunan kokoh bernama pendidikan. Tanpa salah satunya, bangunan tersebut akan timpang dan mudah runtuh. Tujuan inspirasional berfungsi menyalakan api visi, menghadirkan cita-cita luhur yang memberi arah ke mana pendidikan harus melangkah. Tujuan preskriptif kemudian hadir sebagai aturan main, menjabarkan secara konkret bagaimana visi itu diterjemahkan ke dalam kurikulum, metode, dan nilai-nilai yang harus diajarkan. Sementara itu, tujuan investigatif berperan sebagai penyeimbang, menghadirkan kritik, koreksi, dan evaluasi agar pendidikan tetap berada pada jalur yang benar serta tidak kehilangan relevansi.
Jika diibaratkan sebuah orkestra, tujuan inspirasional adalah melodi indah yang memberi warna dan semangat. Tujuan preskriptif adalah partitur yang menata ritme, mengatur kapan instrumen harus dimainkan. Sedangkan tujuan investigatif adalah telinga kritis sang konduktor, memastikan setiap nada selaras sehingga menghasilkan harmoni yang utuh. Tanpa salah satu dari ketiganya, musik yang tercipta akan terdengar sumbang, kehilangan keseimbangan, dan jauh dari keindahan. Dalam dunia nyata, harmoni ini sangat penting. Visi tanpa pedoman hanya akan menjadi mimpi kosong. Pedoman tanpa evaluasi berisiko melahirkan rutinitas kaku tanpa makna. Evaluasi tanpa visi dan pedoman justru akan membuat pendidikan kehilangan arah. Ketiganya harus hadir bersama-sama, saling melengkapi, saling mengingatkan, dan saling menguatkan.
Hanya dengan harmoni antara tujuan inspirasional, preskriptif, dan investigatif, pendidikan dapat benar-benar melahirkan generasi masa kini yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter kuat, kritis dalam berpikir, serta tangguh menghadapi tantangan global. Pendidikan yang harmonis bukan sekadar mencetak tenaga kerja terampil, tetapi membentuk manusia seutuhnya—manusia yang memiliki ilmu, kebijaksanaan, dan kepedulian sosial.


Filsafat pendidikan merupakan fondasi yang memberi arah, makna, dan tujuan dalam setiap praktik pendidikan. Ia memastikan bahwa pendidikan tidak berhenti pada transfer pengetahuan, melainkan membentuk manusia seutuhnya sesuai kodrat dan martabatnya. Tiga tujuan filsafat pendidikan—inspirasional, preskriptif, dan investigatif—saling melengkapi satu sama lain. Tujuan inspirasional menghadirkan visi besar yang menyalakan semangat, tujuan preskriptif memberikan pedoman normatif agar pendidikan berjalan sesuai arah, dan tujuan investigatif menawarkan kritik sekaligus evaluasi demi perbaikan berkelanjutan. Ketiganya, bila berjalan harmonis, akan melahirkan sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman sekaligus berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan demikian, filsafat pendidikan berfungsi sebagai kompas peradaban. Ia menegaskan bahwa tujuan akhir pendidikan bukan hanya mencetak generasi cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk pribadi yang berkarakter, kritis, kreatif, dan mampu menghadapi dinamika global tanpa kehilangan jati dirinya.


Daftar Pustaka
Dewantara, K. H. (1935). Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.
Hasan Langgulung. (1992). Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
Al-Syaibany, O. M. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Universitas Batanghari. (2023). "Filsafat Pendidikan dalam Perspektif Kontemporer." Jurnal
Pendidikan dan Filsafat, 5(2).
Kompasiana. (2023). "Tujuan Filsafat Pendidikan: Inspirasi, Preskriptif, dan Investigatif."
Diakses 20 September 2023.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
(2022). Kurikulum Merdeka Belajar. Jakarta: Kemendikbudristek.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun