Mohon tunggu...
Dhita Arinanda
Dhita Arinanda Mohon Tunggu... wiraswasta -

I find inspiration from hearing a song 'Time' by 'Chantal Kreviazuk'

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Revolusi Buruh Menjadi Robot (Mesin) Semakin Cepat

20 Mei 2014   12:24 Diperbarui: 4 April 2017   17:54 3701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Fenomena-fenomena perubahan fokus dari Industri padat karya menjadi Industri Tekhnologi membawa ironi tersendiri bagi Indonesia dewasa ini, setelah sebelumnya sudah terjadi aksi buruh yang menuntut beberapa poin yang dianggap memberatkan perusahaan, disusul beberapa waktu kemarin Sampoerna dan Bentoel juga "merumahkan" ribuan karyawanya dengan salah satu alasan mau mengganti fokus ke "mesin" yang lebih efisien serta efektif.

Hal ini mengingatkan penulis terhadap "pergerakan luddite", seperti yang digambarkan oleh Jacques Ellul, seorang pemikir dari Perancis dalam bukunya yang berjudul "The Technological Society ", dimana pergerakan Luddite merupakan satu protes yang terjadi akibat revolusi perindustrian di Britain. Dimulai dengan diciptakanya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1776, yang merupakan pencetus utama berlakunya pergerakan Luddite pada masa itu, sehingga menimbulkan kericuhan di masa itu.

Nah dewasa ini di Indonesia, fenomena-fenomena itu sudah mulai terlihat juga, dimana beberapa Industri padat karya mulai berpikir untuk menggunakan mesin, memang sih semua orang tentunya ingin serba canggih, menggunakan robot, komputerisasi, dan lain-lain. Itu terlihat di beberapa negara-negara maju, di sana beberapa loket tol tidak menggunakan petugas seperti di Indonesia ini, mereka sudah menggunakan sensor untuk mendeteksi mobil yang keluar-masuk Tol tersebut, yang selanjutnya pembayaran bulananya bisa dilakukan melalui eletronic money, ATM, ataupun rekening Bank.

Contoh lain terlihat juga dari Foxconn, perusahaan manufaktur yang merakit produk populer seperti iPhone dan iPad milik Apple,di tahun 2013 kemarin mempersiapkan lebih banyak robot yang akan menggantikan buruh di pabrik mereka, yang diproyeksi di tahun 2016 akan mencapai 1 juta unit robot yang digunakan dalam Industri mereka., hal itu dilakukan atas dasar peningkatan tekhnologi dan efisiensi cost produksi tentunya.

Anggap saja saat ini  Foxconn memekerjakan 30 ribu unit robot, katakanlah tenaga robot itu sudah mengganti 30 ribu pekerja X 3 periode shif dalam waktu 24 jam, berarti robot tersebut sudah menggantikan peran 90 ribu orang pekerja, mereka tidak butuh libur, THR, cuti, tidak menuntut macam-macam, dan kalau mau ganti robot juga tidak perlu pesangon, sedangkan pengawas robot mungkin hanya butuh 100-150 orang, karena pasti tinggal monitoring dan semuanya sudah memakai sitem komputerisasi.

Apakah selanjutnya jika tuntutan buruh di Indonesia sendiri terlalu "berlebihan", para pengusaha tersebut akan berpikir ulang untuk mengganti mereka dengan robot ataupun mesin, yang secara labour cost tentunya juga lebih efisien daripada UMP buruh sendiri ?

Mungkin kalau para pengusaha hanya melihat dari satu sisi, pasti seperti diatas jawabanya, tetapi pengusaha atau pebisnis tentulah bukan orang yang bodoh, setiap pergerakan mereka selalu terukur dengan matang, suplly listrik di Indonesia juga masih kurang bagus jika dibandingkan dengan negara-negara yang mulai banyak menerapkan revolusi industri tersebut, tentunya ini akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi pengusaha. Selain itu pastinya mereka juga akan menimbang sisi yang lain, seperti ketika pengangguran bertambah banyak, ekonomi akan lesu, situasi jadi tidak kondusif, ini tentunya juga akan berpengaruh pada Industri sendiri.

Analogi mudahnya seperti ini, produksi suatu barang itu pasti ada batasanya, yang jadi pembatas adalah sisi demand-nya (permintaan), sedangkan sisi suply-nya (permintaan) yang menentukan itu buruh atau pekerja tadi (masyarakat). contohnya, Demand (permintaan) baju perharinya 100 helai, 1 orang pekerja mampu menghasilkan baju 2 helai perhari, jadi Industri butuh 50 pekerja, selanjutnya pengusaha melakukan revolusi mulai menggantikan dengan mesin, dimana mesin mampu menghasilkan 20 helai perhari, perusahaan menyediakn 5 mesin untuk mencapai target 100 helai perhari dan perusahaan hanya memerlukan 5 orang untuk menjalankan mesin tersebut. Lantas 45 orang lainya akan menjadi pengangguran, selanjutnya setelah itu terjadi pasti sisi supply (permintaan) nya pun akan menurun, karena daya beli masyarakat akan menurun juga seiring dengan meningkatnya angka pengangguran. Sedangkan untuk sisi skill mari kita akui kalau mayoritas dari penduduk Indonesia ini masih sangat rendah, jadi akan lari kemana para pengagguran tadi untuk meningkatkan ekonominya.

Tetapi jika selanjutnya tuntutan buruh sendiri terlalu "berlebihan", tentu saja para pengusaha tersebut akan berpikir ulang untuk mengganti mereka dengan robot ataupun mesin. Mereka tentunya punya perhitungan sendiiri tentang tentang Cost Production, atau HPP (harga pokok produksi), mereka juga punya basic plan profit margin yang diharapkan, jadi jika HPP tadi angkanya naik karena bertambahnya beban tenaga kerja, sedangkan revenuenya tetap, otomatis yang akan tergerus tentu saja profit margin-nya, bahkan bisa menjadi loss (rugi). Secara umum pandangan kapitalis (pengusaha) akan berusaha menghindari hal tersebut, kalau seumpama harga jual produk yang tidak memungkinkan untuk dinaikan, ya tentu saja cost beban-nya yang harus di efisienkan untuk kestabilan HPP-nya, salah satunya dengan mengganti buruh dengan mesin tadi, sehingga plan bisnis mereka bisa tetap terjaga.

Dalam permasalahan ini, kita harus memahami lebih bijak lagi permasalahan ini, pada dasarnya para kapitalis (pengusaha) baik asing maupun domestik itu tidaklah bodoh, mereka tahu bahwa mayoritas dari penduduk Indonesia itu masih ber-skill rendah, sedangkan "kebudayaan" masyarakatnya sangatlah "konsumtif", jadi seumpama buruh demo dengan tuntutanya sementara pemerintah nmenyutujui tanpa ada kajian yang matang, bisa dipastikan perusahaan akan secara mudah berkata "PHK ? Why not ?" mereka akan revolusi menjadi Industri tekhnologi (mesin).

Coba kita bayangkan andai itu diterapkan di Industri-industri Indonesia, kira-kira berapa jumlah pengangguran yang akan terjadi di Indonesia, berapa kira-kira jumlah penduduk yang akan kehilangan daya belinya, sedangkan robot atau mesin dalam kenyataanya tidak bisa "mengganti" fungsi buruh sebagai konsumen, inilah yang dimaksud underconsumsion dalam keseimbangan ekonomi, yang ditolak oleh pemikiran Marx dalam  Das Kapital, dan itu akan membawa hancurnya ekonomi secara sistemik.

Sebenarnya Indonesia sendiri masa depanya sangatlah seksi untuk menjadi invetor darling di Asean, secara makro ekonomi Indonesia relatif stabil, inflasi terkontrol baik, groos kuat, hutang memang meningkat tetapi masih dalam kontrol income per GDP, selain itu mengingat 2015 Indonesia juga akan mengikuti masyarakat ekonomi Asean, jadi akan benyak sekali investor yang masuk ke Indonesia. Momentum-momentum ini harus dipersiapkan lebih baik lagi, Kita masih punya masalah di sisi supply chain, karena insfratuktur masih lumayan parah, sehingga logistic cost Industri di Indonesia pun relatif mahal sebesar 14 persen atau hampir sama dengan labour cost, sedangkan di negara seperti Thailand, Malasyia, dan Singapura itu lebih murah. belum lagi birokrasi di Indonesia yang berbelit, seperti masalah ketidakpastian, aturan, inefisiensi, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun