Mohon tunggu...
Dhita Arinanda
Dhita Arinanda Mohon Tunggu... wiraswasta -

I find inspiration from hearing a song 'Time' by 'Chantal Kreviazuk'

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

APBN 2015 Tidak Memberi Harapan untuk Presiden Terpilih

2 September 2014   02:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:52 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam analisis terbaru yang dirilis oleh  Finance & Development Magazine, 1 September 2014, lima peraih Nobel dunia, yaitu :  George A. Akerlof, Paul Krugman, Robert Solow, Michael Spence dan Joseph E. Stiglitz,  mengingatkan negara-negara berkembang (emerging countries) termasuk Indonesia harus bersiap menghadapi kemungkinan terjadinya krisis ekonomi global di masa-masa yang akan datang.

Menurut  Stiglitz, negara maju tidak boleh lagi hanya memikirkan kepentingan ekonomi domestiknya saja dalam menetapkan kebijakan ekonomi karena terbukti dalam beberapa kejadian dalam satu dasa warsa terakhir, kebijakan negara maju berakibat buruk bagi perekonomian dunia. Diantaranya kasus sub-prime mortgage 2008 di AS dan krisis keuangan dan fiskal di Eropa semenjak 2010, yang telah menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi dunia. Dia mengingatkan Indonesia harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumahnya khususnya reformasi struktural dengan meningkatkan daya saing ekspor dan kemandirian ekonomi guna membawa defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat.

Sementara itu George A. Akerlof, Paul Krugman dan Robert Solow, mengingatkan masalah global warming sebagai problem dunia yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi negara dimanapun. Apalagi adanya tren penurunan pertumbuhan ekonomi dunia terhadap PDB  (produk domestik bruto) dari rata-rata 18% (2000-2007) menjadi 6% pada periode 2007-2014.

Indonesia sendiri memiliki permasalahan yang cukup pelik kedepanya, karena seperti yang sudah kita tahu bahwa post APBN 2015 yang hanya berada di angka Rp 2.019,9 trilliun tidak akan memberikan ruang fiskal yang lebar pada pemerintah periode selanjutnya, disamping itu beban energy yang semakin tinggi, karena secara keseluruhan subsidi energy pada tahun 2015 bisa mencapai Rp 400 triliun, beban subsidi BBM Rp 300 triliun lebih, sedangkan untuk subsidi listrik mencapai Rp 80 triliun. Belum lagi belanja rutin kementrian, gaji pegawai dan lainnya. Sedangkan pendapatan dari pajak tahun 2014 ini targetnya Rp1.110,2 triliun yang hanya setengah dari RAPBN 2015, sementara itu pendapatan negara dari sektor lain juga belum bisa maksimal, sehingga hanya akan meninggalkan opsi penerbitan surat utang bagi periode pemerintahan selanjutnya, untuk memberikan ruang  serta untuk menutupi defisit APBN 2015 nanti.

Padahal di tahun 2015 mendatang, negara emerging market seperti Indonesia ini juga akan menghadapi ancaman kenaikan suku bunga The Fed (mengurangi program stimulus), yang tentu saja akan banyak dana QE (quantitive easing) yang akan melakukan tappering off (capital outflow) dari negara ini. Seperti yang disebutkan dalam pertemuan FMOC Juni 2014 lalu, menyatakan penentuan kelanjutan kebijakan quantitative easing tersebut akan terjadi setelah pertemuan serupa pada Oktober 2014. Jika dalam masa itu perkembangan ekonomi berlangsung seperti perkiraan Komite (FOMC), reduksi akhir ini akan terjadi setelah pertemuan pada Oktober 2014, yang menandakan akan mulai mengurangi QE (tappering off) bertahap sampai suatu saat berhenti total.

Hal ini tentu saja akan membahayakan ekonomi Indonesia, dimana stabilitas nilai tukar rupiah pun akan terganggu, ketika itu QE akan melakukan capital outflow dimana keuntungan ada di pihak US Dollar. Sehingga surat-surat hutang kita pun akan kena imbasnya menjadi berbiaya mahal, dan rupiah akan mengalami tren yang melemah. Kembali ke persoalan APBN, ketika rupiah mengalami trend yang melemah, tentu saja itu akan membuat subsidi kita semakin mebengkak dan defisit neraca transaksi berjalan (current account) kita semakin melebar.


Inilah masalah pelik yang akan dihadapi oleh pemerintah periode selanjutnya, dalam permasalahan ini dibutuhkan ketepatan management pemerintah. Program apapun yang akan dijalankan oleh pemerintah selanjutnya untuk memberi ruang terhadap APBN diharapkan ketepatanya. Pemerintah selanjutnya bisa berusaha untuk memaksimalkan pendapatan fiskal (pajak) serta lebih concern terhadap sektor riil baik industri maupun pertanian nasional. Jika pertumbuhan industri bisa di atas 7%, selanjutnya bisa menaikan pertumbuhan sektor pertanian di atas 5% yang sekarang hanya 3,2%, disamping itu ada perampingan pengeluaran pemerintah seperti belanja kementrian, gaji pegawai, dll, untuk dilarikan ke belanja modal, maka hal tersebut akan memberikan kelonggaran pada ruang fiskal APBN 2015 mendatang.

Memang semua hal tersebut tidak mudah dicapai dengan instan, semua butuh proses dan kekompakan kita sebagai bangsa, jika periode pemerintah mendatang mampu menjalankan itu semua, tidaklah mustahil target-target yang ditetapkan bisa terealisasi, dan ekonomi Indonesia akan lebih baik lagi kedepanya. Semoga presiden terpilih Bapak Jokowi kedepanya tidak hanya terjebak dalam isu komoditi politik kenaikan BBM saja, tetapi mampu melihat peluang-peluang di sektor lain yang belum dimaksimalkan.

Dhita A


1 September 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun