Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arifnya Legenda Danau Poso

12 Agustus 2015   16:09 Diperbarui: 12 Agustus 2015   16:09 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa kantuk tak terelakan lagi usai 2 kali melakukan penerbangan dan menunggu hampir semalaman di Bandara Soekarno Hatta. Pagi-pagi buta pesawat menerbangkan saya menuju Makasar. Penerbangan 2 jam 30 menit mendaratkan saya di Lanud Hasanudin. Baru saja kaki berpijak, panggilan penerbangan lanjutan menuju Poso sudah terdengar. Lari tergopoh-gopoh walau akhirnya ketinggalan bus yang membawa saya ke pesawat. Setelah sesaat menunggu, saya menjadi penumpang terakhir dan sendiri yang naik bus yang akan mengantar ke badan pesawat.

Pukul 08.00 baling-baling dari pesawat ATR mulai berputar dengan suara gemerisiknya. Berjalan menuju landasan pacu sambil menunggu 2 pesawat yang hendak mendarat. "Take off attending please" terdengar suara serak pilot seperti orang kurang tidur. Akhirnya saaatnya tinggal landas pun tiba dan pesawat melesat menuju angkasar ke arah utara. Benar saja dalam kantuk saya yang tak tertahankan hanya bisa memejam mata.

Penerbangan selama 1 jam 10 menit membawa pandangan saya seolah menarawang awang-awang. Lansekap Sulawesi benar-benar memesona. Andaikata bukit-bukit karst raksasa di bumi Maros itu tidak tertutup oleh karpet hutan yang menghijau saya membayangkan mirip grand canyon di colorado, namun ini green canyon. Terpukau mata saya melihat bentang alam yang luar biasa indah dengan bukit, lembah dan sungai yang berkontur unik.

Tetiba mata saya terpukau oleh sebuah perairan yang luas dengan permukaan berwarna hijau toska. Inikah teluk tomini, dan mengapa pilot masih belum nenurunkan pesawat dari ketinggian jelajah sekitar 18.000 kaki. Baling-baling masih berbutar kencang dan belum ada tanda-tanda mulai pelan yang artinya tujuan masih jauh, atau terlewat karena pilot sedang bermimpi.

Lembaran surat kabar Radar Palu saya buka satu persatu. Sebuah halaman cukup membuat saya tertarik untuk membaca semua. Dikisahkan ada seorang suami istri yang tak punyak anak. Ue Bailolo demikian nama lelaku yang belum juga dikarunia anak tersebut. Dalam penantianya dia berdoa pada Tuhan agar segera diberi anak. Suatu malam Ue Bailolo bermimpi bertemu dengan pemuda yang tampan dengan menaiki kerbau putih dan mengaku bernama Manurung. Dalam mimpinya tersebut Bailolo akan mendapat anak dan disuruhnya pergi ke Hutan mencari bambu.

Keesokan harinya Ue Bailolo pergi ke hutan hendak menebang bambu yang akan dia gunakan untuk bale-bale di depan rumahnya. Saat hendak menebang terdengar suara rintihan seorang gadis yang memohon belas kasihan. Sejenak dia menghentikan menebang bambu dan mencari sumber suara. Sekian lama dia tak menemukan suara aneh tersebut lalu ketakuan dan lari ke rumah dan diceritakan pada istrinya.

Istrinya menyarankan agar memberi sesaji pada pohon bambu tersebut dan diturutilah oleh Ue Bailolo. Akhirnya bambu dibawa ke rumah lalu dibuatlah bale-bale di depan rumahnya. Dia masih percaya di dalam bambu tersebut masih ada roh penunggunya lalu diberinya sesaji dan ditutup kain putih. Ke esokan harinya dia hendak mengganti sesaji tersebut lalu dibukanya kain penutup dan munculah sesosok gadis cantik. "Saya Lalung, disini sedang menunggu kedatangan calon suami saya dan bolehkah saya tinggal bersama kalian..?" kata gadis tersebut lalu Ue Bailoli mengiyakan. Tinggalah mereka bersama.

Suatu hari Lalung meminta pada ayah angkatnya yakni keinginan untuk makan masakan dari burung merpati putih. Begitu sayangnya pada Lalung maka pergilah dia ke hutan. Setelah sekian lama dia tidak mendapatkan buruannya lalu lelah dan tertidur. Dalam mimpinya dia bertemu dengan Manurung yang akan mengabulkan apa yang dicarinya.

Selama Ue Bailolo berburu, istrinya di rumah kedatangan seorang pemuda tampan yang bernama Manurung. Manurung meminta ijin pada istri Ue Bailolo untuk menanam bung matahari sambil menitip pesan "siapa saja yang nanti memetik bunga ini, jika laki-laki maka ia akan saya jadikan sodara dan jika perempuan akan saya jadikan istri". Lalu dia berpamintan dan hilang ditelan kejauhan. Istri Ue Bailolo tak menceritakan kejadian ini manakala suaminya datang membawa seekor merpati putih untuk Lalung kemudian dimasaknya.

Hari lepas hari bunga matahari tumbuh dan berbungan sangat indah sekali. Ue Bailolo dan istrinya menjaga dan merawat bunga tersebut. Suatu saat Lalu memetik bunga tersebut karena tidak tahan akan keindahannya. Tak berselang lama datanglah Manurung. Alangkah terkejutnya dia bertemu dengan lelaki seperti dalam mimpinya, begitu juga dengan istrinya yang dulu pernah ditemuinya. Manurung menepati janjinya bahwa dia akan menikahi gadis yang telah memetik bunga mataharinya. Lalung yang terpesona dengan ketampanan Manurung menerima pinangannya lalu menikahlah mereka dan tinggga bersama Ue Bailolo.

Suatu hari desa Ue Bailolo mengalami kekeringan. Sumur-sumur dibuat tetapi tak satupun mengeluarkan air. Manurung lalu meminta petunjuk pada Tuhan untuk mencari jalan keluar dari kekeringan ini. Akhirnya doanya dijawan lalu disuruhnya dia pergi ke atas bukit lalu di tancapkannya tombak saktinya. Dari bekas tancapan tombak tersebut munculah mata air yang tak berhenti memancarkan air. Lama-kelamaan air menggenangi daerah tersebut dan jadilah danau yang luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun