Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak Milenial yang Memilih Menjadi Petani

7 Januari 2021   12:10 Diperbarui: 8 Januari 2021   00:54 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di depan tungku perapian (dok.pri).

Di depan tungku perapian, dulu kakek saya berpesan "kamu sekolah yang pinter, biar nanti hidupmu tidak susah, kalau bisa jadi pegawai, jangan tani seperti kakekmu".

Namun anehnya, meski Kakek saya tidak mengingkan cucunya jadi petani, tetapi saja beliau mengajarkan bertani. Selepas subuh ke ladang menyiram sayur, dan nanti sorenya menggendong tangki untuk menyemprot hama.

Potret masa lalu, di mana tani bukanlah sebuah cita-cita. Tani identik dengan pekerjaan yang tidak ada gengsinya sama sekali.

Padahal jika melihat realita, tidak sedikit petani yang kaya raya, dan hidupnya jauh lebih mapan daripada pegawai kantoran. Cuma petani tidak memiliki kelas sosial, meskipun memiliki beberapa kendaraan, lahan, dan rumah yang megah.

Benarkah anak-anak muda, tak lagi mau bertani?

Pagi ini di lereng Gunung Merbabu saya diajak menemui petani muda yang ingin mengembalikan budaya keluarga dalam bertani.

Mereka adalah kakak beradik yang bernama Yesa dan Eben, yang telah hijrah dari pekerjaan formal di kota dan kini kembali ke dusunnya untuk menggarap ladangnya.

Yesa yang sedang menyemprot pestisida untuk kubisnya (dok.pri).
Yesa yang sedang menyemprot pestisida untuk kubisnya (dok.pri).
Saya beruntung mengenal mereka yang pagi itu sudah menggendong tangki semprot. Jadwal mereka pagi ini adalah menyemprot pestisida untuk tanamana kubis dan kentang. Di sebuah gubug kami bercengkrama, mengapa mereka kembali bertani, padahal sudah enak bekerja di kota.

"Bapak punya sembilan petak lahan. Ada investor mua menyewa, setahun 40 juta. Lahannya mau dijadikan restoran dan taman. Benar mas kami langsung dapat 40 juta. Tapi, nanti saat sudah berjalan, saat kami mau nengok lahan kami, suruh bayar tiket masuk, bayar parkir, dan suruh beli kopi. Padahal kami ini yang punya lahan. Dari itulah kami semua sepakat, menggarap lahan itu daripada disewakan," cerita Yesa dan Eben.

Lahan garapan mereka yang sebelumnya sudah diincar investor (dok.pri).
Lahan garapan mereka yang sebelumnya sudah diincar investor (dok.pri).
Berangkat dari pengalaman dan kekecewaan para pemilik lahan yang nantinya jadi tamu di dusun sendiri, mereka kembali ke kampungnya untuk membangun lahar pertanian. Bertani, bagi mereka, bukan hal yang baru, namun hebatnya mereka bisa mendaptakan ilmu pertanian dari internet.

Rumah sederhana mereka terpasang jaringan internet dan wifi. Mereka bisa dengan mudah mengakses dunia pertanian, begitu pula dengan pasarnya. Kini hanya dengan modal itu, mereka bisa mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian yang ada sentuhan teknologi memanfaatkan internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun