Mohon tunggu...
Diqi Hadiq
Diqi Hadiq Mohon Tunggu... S1 Hubungan Internasional UMY

Seorang yang terlahir biasa saja yang sedang mencoba untuk menjadi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Buku "Kebangkitan Kembali Great Power; Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden Vladimir Putin" Karya Ali Muhammad, Mutia H. H dan Ahmad Sahide

9 Juli 2025   00:36 Diperbarui: 9 Juli 2025   00:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://hipm.umy.ac.id/sekilas-pandangan-tentang-buku-kebangkitan-kembali-great-power-politik-luar-negeri-rusia-era-presiden-vladimir-putin/

Buku "Kebangkitan Kembali Great Power; Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden Vladimir Putin" yang ditulis oleh Ali Muhammad, Mutia Hariati Hussin, dan Ahmad Sahide, dan diterbitkan oleh Prodi Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY pada tahun 2019, membuka wawasan yang sangat penting untuk memahami dinamika politik luar negeri Rusia kontemporer dan upaya Moskow untuk mengembalikan peran sentralnya sebagai great power di panggung dunia. Buku ini secara jelas menunjukkan mengapa Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin tampil begitu asertif dan ambisius di kancah global, didukung oleh kebangkitan kembali ekonomi Rusia dari keterpurukan sebelumnya. Bagi para pembaca yang ingin menelusuri akar kebijakan luar negeri Moskow yang seringkali menantang, karya ini adalah panduan esensial yang membongkar kompleksitas dinamika domestik dan internasional yang membentuk wajah Rusia modern.

Secara krusial, para penulis dengan cermat menggunakan Teori Transisi Kekuatan (TKK), sebuah turunan dari perspektif realis/neo-realis, sebagai lensa analisis utama. Dari perspektif ini, Rusia di era Putin secara tegas dikategorikan sebagai negara revisionis, yang berarti bahwa Moskow tidak lagi menerima tatanan internasional yang didominasi Amerika Serikat (AS), melainkan secara aktif berupaya untuk mengubah aturan-aturan global yang ada atau bahkan memaksakan aturan baru. Pandangan zero-sum game dalam urusan keamanan turut mewarnai kebijakan luar negeri mereka, di mana keamanan absolut bagi Rusia dapat berarti ketidakamanan bagi pihak lain, mendorong fokus pada pembangunan kembali kemampuan militer dan bahkan penggunaan kekerasan terhadap negara tetangga yang lebih lemah. Para ahli dari Heritage Foundation juga melihat bahwa rezim Putin menantang nilai-nilai demokrasi, menghadirkan tantangan strategis dan diplomatik, mengancam sekutu AS, serta menjalin kerja sama dengan negara-negara "nakal". Penting juga dicatat bahwa para pendukung aliran "revisionis" ini cenderung tidak melihat kesalahan pada pihak Barat atas perkembangan seperti kampanye NATO di Kosovo, program pertahanan rudal AS di Eropa Timur, atau ekspansi NATO, melainkan memandang bahwa Moskow memiliki aspirasi neo-imperialis untuk menguasai negara-negara tetangga yang tidak memiliki hak menentukan nasib sendiri.

Buku ini secara komprehensif mengulas berbagai faktor yang membentuk politik luar negeri Rusia, memberikan pemahaman holistik. Pertama, dijelaskan adanya kontinuitas sejarah yang mendalam dalam politik luar negeri Rusia sejak abad ke-14, di mana ekspansi wilayah dipandang sebagai upaya bertahan hidup dan strategi keamanan karena kurangnya penghalang alami di daratan luas Eurasia. Sejarah juga menyoroti "perasaan penghinaan" historis yang dialami Rusia, mulai dari invasi Mongol, ketertinggalan ekonomi dari Eropa, hingga perlakuan Barat pasca-Perang Dingin seperti "shock terapi" ekonomi dan ekspansi NATO. Namun, sejarah juga menjadi sumber kejayaan dan kebanggaan nasional, di mana Rusia berulang kali berhasil membalikkan kekalahan besar menjadi kemenangan, menumbuhkan keyakinan bahwa Rusia akan selalu bangkit dari kesulitan, seperti saat mengalahkan Napoleon atau Hitler. Sejarah ini juga berfungsi sebagai instrumen legitimasi politik, bahkan dalam mempertahankan narasi positif tentang tokoh kontroversial seperti Joseph Stalin yang dipandang sebagai pemimpin yang membangun Rusia menjadi super power.

Selanjutnya, buku ini membahas kuatnya lembaga eksekutif di bawah Putin, di mana terjadi sentralisasi kekuasaan yang masif pada lembaga kepresidenan. Parlemen dan peradilan menjadi lemah, dengan metode penunjukan yang mengutamakan kesetiaan daripada kualifikasi, dan sektor-sektor strategis dikendalikan negara, menciptakan "politik otoritarian gaya baru" meskipun tetap lebih terbuka dibandingkan era totaliter Uni Soviet. Publik Rusia, meskipun memiliki preferensi kuat terhadap isu politik internasional, cenderung dijadikan kendala yang membatasi pilihan kebijakan pemerintah, terutama dalam isu-isu sensitif seperti hubungan dengan bekas republik Soviet.

Dari segi ekonomi, buku ini menjelaskan kebangkitan ekonomi yang signifikan setelah krisis 1998, terutama berkat substitusi impor dan lonjakan harga energi global. Integrasi Rusia ke dalam G8, G20, dan WTO menunjukkan keterlibatannya dalam sistem ekonomi global. Namun, pada saat yang sama, Rusia memiliki ambisi besar untuk membangun kekuatan ekonomi tandingan, seperti melalui BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa), sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada sistem Bretton Woods yang didominasi AS. Ekonomi Rusia mengalami pertumbuhan pesat dan dibanjiri investasi multinasional serta ekspor migas yang menopangnya.

Meskipun kekuasaan terpusat pada Presiden, pengaruh perusahaan energi besar (misalnya Gazprom) dan lembaga keamanan ("siloviki") juga signifikan dalam membentuk kebijakan luar negeri. Sementara itu, dalam aliran pemikiran politik luar negeri, buku ini mengidentifikasi aliran pemikiran "Sentris" sebagai yang paling dominan dalam elite Rusia, yang menekankan peran sentral Rusia, menjaga pengaruh di kawasan perbatasan, dan berdiri sejajar dengan negara besar lainnya seperti AS. Aliran sentris ini bahkan mencakup tokoh-tokoh seperti Primakov, Putin, dan Medvedev.

Perwujudan politik luar negeri Rusia yang asertif ini terlihat jelas dalam hubungannya dengan aktor-aktor kunci. Terhadap Amerika Serikat (AS), buku ini menyoroti persaingan historis dan "dendam sejarah" pasca-Perang Dingin, dengan Rusia yang bertekad membangkitkan kembali kekuatan politik globalnya untuk menandingi dominasi AS. Kasus Edward Snowden dan dugaan intervensi dalam Pilpres AS 2016 disajikan sebagai "momentum politik penting" bagi Putin untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Rusia telah kembali sebagai super power dan berani berseberangan dengan Washington, bahkan sampai "mengganggu hegemoni politik Amerika".

Terhadap Uni Eropa (UE), sikap Rusia ambivalen. Mereka mengakui kemitraan ekonomi, tetapi khawatir dengan ambisi UE menjadi aktor kebijakan luar negeri tunggal yang kuat, terutama ekspansi UE ke Eropa Timur yang Rusia anggap sebagai wilayah pengaruh alamiahnya. Rusia cenderung menerapkan strategi "divide and rule", memprioritaskan hubungan bilateral dengan masing-masing negara anggota UE untuk menangkis pengaruh kolektif UE. Rusia juga menentang upaya UE untuk menjadi kekuatan normatif yang mengkritisi urusan internalnya, serta pengembangan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama UE karena kekhawatiran akan melemahnya pengaruh AS di Eropa dan terisolasinya Rusia dari integrasi pertahanan Eropa.

Terhadap Tiongkok, buku ini menguraikan kemitraan strategis yang solid, terutama pasca-krisis Ukraina, meliputi kerja sama politik, keamanan, dan ekonomi. Aliansi BRICS disorot sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi tandingan. Mereka juga memiliki inisiatif besar seperti "Eurasia Raya" dan konvergensi Uni Ekonomi Eurasia (UEE) dengan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, menunjukkan upaya membangun tatanan dunia multipolar. Rusia melihat Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar kedua setelah Uni Eropa dan berupaya memperluas hubungan ekonomi, meskipun tetap ingin menjaga ketergantungan pada tingkat yang nyaman.

Terakhir, terhadap Kawasan Timur Tengah, kawasan ini sangat strategis bagi Rusia karena posisi geografisnya dan kekayaan sumber daya alamnya. Buku ini secara jelas memaparkan kontestasi perebutan pengaruh yang nyata antara AS dan Rusia di sana, dengan dukungan Rusia terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah sebagai contoh menonjol. Rusia memandang mempertahankan Suriah sebagai "pijakan penting untuk pengaruhnya di Timur Tengah" dan upaya untuk menghentikan hegemoni Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun