Review Jurnal "United for Justice: Global Muslim Group's Responses to The Israeli Occupation in Palestine" Karya Hasbi Anwar et. al
Jurnal yang berjdul "United for Justice: Global Muslim Group's Responses to the Israeli Occupation in Palestine", yang ditulis oleh Hasbi Aswar, Ulya Nuril Fajri, dan Jalaluddin Rizqi Mulia dari Universitas Islam Indonesia, menekankan masalah pendudukan Israel di Palestina, yang telah menjadi perhatian utama dunia Islam dan komunitas internasional selama lebih dari 70 tahun. Dalam artikelnya, gerakan Islam yang berbeda dikaji secara menyeluruh dalam menanggapi masalah ini melalui berbagai cara, seperti tindakan sosial, kemanusiaan, diplomasi, hingga perlawanan militer. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang cara-cara yang digunakan oleh organisasi Muslim di seluruh dunia untuk mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang pendudukan Israel.Â
Konsep gerakan sosial Tilly & Tarrow digunakan sebagai kerangka analisis studi ini. Menurut konsep ini, gerakan sosial terdiri dari empat komponen utama: kampanye terus-menerus untuk mempertahankan klaim; aksi publik yang beragam, seperti pawai, unjuk rasa, pembentukan kelompok khusus, rapat umum, pernyataan publik, petisi, dan lobi; pertunjukan solidaritas yang sering dan terbuka, seperti mengenakan warna tertentu, berbaris dalam kelompok terorganisir, dan memakai lencana. Selain itu, konsep ini mengidentifikasi ketergantungan pada organisasi, jaringan, tradisi Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber online, seperti media sosial, publikasi akademik, dan laporan organisasi.Â
Jurnal ini memberikan perhatian khusus pada tanggapan yang diberikan oleh lima organisasi Islam utama: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), gerakan Salafi, Ikhwanul Muslimin (yang berafiliasi dengan Hamas), dan Hizbut Tahrir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan utama organisasi-organisasi ini adalah menentang pendudukan Israel dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina, meskipun mereka menggunakan berbagai pendekatan dan strategi. Dalam upaya advokasinya, setiap organisasi menunjukkan ciri-cirinya sendiri, mulai dari jalur kemanusiaan dan diplomatik hingga perlawanan bersenjata dan kampanye ideologis, yang memberikan gambaran lengkap tentang berbagai tanggapan yang diberikan oleh masyarakat Muslim.
Dalam mendukung Palestina, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan pendekatan kemanusiaan dan diplomatik. Selain prinsip agama yang berkaitan dengan Masjid AlAqsa, Muhammadiyah mendukung mandat konstitusi, hutang sejarah, dan solidaritas negara-negara dunia ketiga. Muhammadiyah melakukan banyak hal, seperti mengadakan diskusi akademik, mengumpulkan dana melalui Lazismu (mencapai Rp32,18 miliar), melakukan solidaritas dengan organisasi pemuda, menyediakan layanan kesehatan seperti membangun rumah sakit Indonesia di Hebron dan mendirikan rumah sakit lapangan di Gaza, dan mendukung di forum internasional seperti PBB, OIC, dan Liga Arab. Selain itu, NU telah menunjukkan dukungan yang konsisten sejak perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Fokus NU adalah agama, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Nasionalis Islam menggunakan berbagai pendekatan, mulai dari korespondensi dengan pejuang Palestina hingga upaya diplomasi oleh tokoh-tokohnya, seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mencoba berbicara dengan Israel demi kepentingan Palestina, dan K.H. Hasyim Muzadi, yang menggunakan pendekatan diplomasi lunak. Selain itu, NU terlibat dalam kampanye perdamaian melalui penggalangan dana (NU Care-LAZISNU), seruan Salat al-Ghaib, dan penggunaan forum religius internasional seperti G20 Religious Forum (R20).
Secara ideologis, gerakan Salafi mendukung Palestina dengan menekankan solidaritas Muslim dan memandang konflik tersebut sebagai perang antara Muslim dan non-Muslim. Mereka juga berkonsentrasi pada penyebaran da'wah dan pendidikan agama melalui berbagai sarana, termasuk media online seperti Salafi Indonesia. Mereka memberikan pengetahuan dan fatwa tentang kewajiban Sharia untuk mendukung Palestina, termasuk doa, bantuan kemanusiaan, dan, jika perlu, perang bersenjata. Namun, kelompok minoritas Salafi-Jihadis juga melakukan serangan bersenjata terhadap Israel, meskipun ini sering kontroversial karena menimbulkan ketegangan ideologis internal dengan Hamas. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin, organisasi Islam tertua dan terbesar di Mesir, telah mengambil alih politik Palestina selama tiga puluh tahun. Di Palestina, mereka sering disebut sebagai Hamas. Ikhwanul Muslimin dan Hamas menggunakan taktik militer langsung untuk melawan Israel. Mereka menentang solusi dua negara karena mereka menganggapnya sebagai bentuk menyerah kepada penjajah. Mereka juga berusaha memobilisasi massa untuk menentang Zionis.
Hizbut Tahrir (HT), yang didirikan di Palestina pada tahun 1953, percaya bahwa pembebasan Palestina hanya dapat dicapai melalui pemulihan Khilafah Islam. HT memiliki pandangan yang melampaui nasionalisme dan berusaha membangun kembali kekhalifahan Islam di seluruh dunia. Menganggap perjanjian negosiasi yang dibuat oleh pihak lain sebagai "konspirasi" dan "pengkhianatan terhadap Islam", mereka menentangnya. Menurut HT, salah satu dari banyak masalah yang lebih besar adalah pendudukan Israel; fokus utama HT adalah restorasi Khilafah dan penerapan hukum Syariah sebagai solusi "utama" dan "vital". HT percaya bahwa hanya melalui Khilafah kemerdekaan Palestina dapat "tidak terhindarkan". Mereka menggunakan pendudukan Palestina sebagai alasan utama bahwa khilafah harus dihidupkan kembali. Dalam aksinya, HT melakukan demonstrasi publik yang mendorong negara-negara Muslim untuk melakukan tindakan militer untuk membebaskan Palestina, menggunakan media sosial dan publikasi ideologis untuk menyebarkan ide-ide mereka, dan mendorong militer untuk melakukan jihad sebagai kewajiban Islam. HT menolak untuk berperang secara langsung dan memilih untuk "menunggu tentara khilafah untuk membebaskan."Â
Secara keseluruhan, artikel ini menunjukkan bahwa berbagai organisasi Muslim ini berpartisipasi secara konsisten dan berpengaruh dalam dinamika geopolitik global yang berkaitan dengan Palestina. Dengan menggunakan kerangka Tilly & Tarrow, jelas bahwa keyakinan mereka berbeda: Muhammadiyah dan NU menekankan kemanusiaan dan keadilan, Ikhwanul Muslimin dan Hamas memilih untuk melakukan perlawanan bersenjata, dan Hizbut Tahrir berkonsentrasi pada pemulihan khilafah. Pertunjukan solidaritas juga beragam, mulai dari doa bersama dan demonstrasi besar hingga tindakan militer simbolis. Aksi publik juga bervariasi dari diskusi dan diplomasi hingga aksi militer dan mobilisasi massa. Pada akhirnya, Muhammadiyah dan NU bergantung pada lembaga amalnya, sementara Salafi bergantung pada jaringan da'wah, Ikhwanul Muslimin bergantung pada struktur Hamas, dan Hizbut Tahrir bergantung pada jaringan internasionalnya untuk mendukung ideologinya. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI