Di tengah realitas masyarakat Indonesia yang plural, kisah cinta lintas iman bukanlah hal baru. Ia hadir dalam sinetron, buku, hingga dalam kenyataan paling sunyi: dua insan saling jatuh hati, meski berbeda keyakinan. Namun di balik romantisme itu, tersimpan kompleksitas hukum yang tak sederhana, terutama ketika cinta tersebut ingin dirajut dalam ikatan perkawinan.
Dalam hukum Islam, pernikahan adalah ibadah dan perjanjian suci (mitsaqan ghaliza) yang tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga, dua akidah, bahkan dua dunia nilai. Maka tak mengherankan jika perkawinan beda agama menjadi perdebatan serius di kalangan ulama maupun sarjana hukum Islam.
Hukum Islam dan Perkawinan Beda Agama
Mayoritas ulama fikih dari mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa seorang perempuan Muslimah tidak boleh menikah dengan pria non-Muslim, baik dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) apalagi non-Kitabiy. Namun sebagian ulama dari kalangan Hanafi memberikan ruang terbatas bagi pria Muslim untuk menikahi perempuan Ahlul Kitab, dengan syarat tidak membahayakan akidah dan keturunan.
Pandangan ini tidak muncul tanpa alasan. Islam menempatkan akidah sebagai asas dalam kehidupan rumah tangga. Dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 221 disebutkan:
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman..."
Ayat tersebut menjadi dasar hukum utama dalam melarang perkawinan beda agama menurut mayoritas ulama. Larangan ini juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 huruf (c) yang menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara seorang pria dan wanita yang berlainan agama. Selanjutnya, Pasal 44 KHI menegaskan bahwa "seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam." Ketentuan ini sejalan dengan Fatwa MUI Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Walau dalam tafsir klasik ada perbedaan antara musyrik dan Ahlul Kitab, konteks zaman kini menunjukkan bahwa garis batas tersebut menjadi semakin kabur, terutama di tengah meningkatnya jumlah pasangan lintas iman.
Realitas Sosial dan Tantangan Konstitusional
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara implisit melarang perkawinan beda agama melalui Pasal 2 ayat (1): "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."
Masalahnya, jika dua agama melarang, bagaimana negara bisa melegalkan? Maka timbul praktik-praktik kreatif seperti menikah di luar negeri, berpindah agama sementara, atau hanya mencatatkan sipil tanpa agama. Semua ini menunjukkan kegelisahan hukum dalam menghadapi realitas sosial yang berubah.
Isu ini kembali menjadi sorotan ketika Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa permohonan pencatatan perkawinan beda agama harus ditolak oleh pengadilan. Kebijakan ini mempertegas sikap negara dalam mendukung prinsip bahwa perkawinan harus sesuai dengan hukum agama masing-masing. Di satu sisi, hal ini memperjelas arah hukum; namun di sisi lain, membuka ruang diskusi baru terkait perlindungan hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama dan berkeluarga.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 68/PUU-XII/2014 menolak permohonan untuk melegalkan perkawinan beda agama, dengan alasan menjaga ketertiban hukum dan penghormatan terhadap ajaran agama.