Mohon tunggu...
Dewi Wening Sawitri
Dewi Wening Sawitri Mohon Tunggu... -

suka menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Welcome Back, Dear Memories!

27 Januari 2011   11:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa hari yang lalu di stasiun, saat sedang menunggu kereta tujuan manggarai, saya bertemu dengan bapak tua penjual tissue yang biasa mondar-mandir di sepanjang peron (yang biasa naik kereta dari Stasiun UI, pasti familiar dengan beliau). Bapak itu sedang mengobrol dengan seorang Ibu berseragam safari seperti guru. Samar-samar saya mendengar percakapan mereka: I: kenapa pak itu kakinya? B: keseleo, bu waktu itu jatuh. Jadinya harus pakai tongkat begini. I: aduh mbok ya hati-hati, pak. B: iya nih ketiak pada sakit karena harus pake tongkat ini. I: Yasudah ya, Pak keretanya sudah mau datang (memberi uang ke bapak tersebut). B: Oh iya bu. Hati-hati di kereta suka banya copet. I: Bapak nyuruh saya hati-hati tapi dirinya sendiri nggak hati-hati. ** Saya tersenyum sendiri mendengar percakapan itu dan berpikir, ada benarnya juga omongan ibu itu. Berapa sering sih kita melakukan hal serupa, meminta orang lain untuk melakukan sesuatu, tapi kita sendiri bahkan belum tentu bisa melakukannya. Ini berbeda dengan munafik, konteksnya kita sedang berusaha menyenangkan orang lain dengan memberikan sebentuk perhatian tertentu yang simplenya yaa... seperti yang dilakukan oleh bapak penjual tissue itu. Yang jadi masalah adalah mengapa hal tersebut tidak kita jadikan sebagai bahan introspeksi untuk diri sendiri. Tidak salah memang, tapi lagi-lagi saya bertanya-tanya betapa mengeluarkan kata-kata untuk orang lain itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan kata-kata yang dikeluarkan untuk diri sendiri. Saya jadi ingat pengalaman saya sendiri. Beberapa hari yang lalu, seorang teman lama yang sempat tak ada kabarnya tiba-tiba menghubungi saya, ingin curhat katanya. Curhatnya tentang masalah yang menyedihkan. Kalau ada yang menebak tentang cinta, anda 100% benar. Menurut saya, masalahnya umum terjadi pada kita-kita yang sedang merindukan seseorang, bahasa gaulnya galau. Ya, masalah yang juga pernah saya hadapi, merindukan seseorang yang (kita sangka) kita cintai. Ia bertanya mengapa ia tetap memikirkan orang yang telah lama tak pernah muncul dalam hidupnya dan merasakan kesedihan yang teramat sangat ketika bayang-bayang orang itu muncul. Persis! Sempurna! Teman saya itu menanyakan masalah yang serupa dengan yang perna saya alami. Permasalahan lama terselesaikan dengan berjalannya waktu. Saya sangat mengandalkan sang waktu untuk menyudahi masalah yang saat itu saya hadapi. Hasilnya? Berhasil, walaupun sama sekali tidak instan. Sementara teman saya ini ingin cepat-cepat membunuh bayangan orang itu dari hidupnya. Sepengetahuan saya, semakin sering kita berusaha untuk melupakan seseorang, semakin sulit kita melupakannya. Ya, semua itu karena permainan alam bawah sadar kita yang bisa menyembunyikan dan memunculkan kembali apa saja yang terlalu di-repress. Maka saya menyarankan untuk tidak berusaha melupakan, tapi justru sebaliknya, menyambutnya. Saya pernah membaca sebuah buku spiritual yang bagus (paling tidak menurut saya). Di sana disebutkan, apabila kita menemui masalah yang menimbulkan rasa sakit di diri kita, jangan marahi atau tolak ia, tapi sambutlah. Tentu saja hal itu sangatlah abstrak. Contoh sederhana, ketika sedang sakit gigi sebaiknya kita tetap tenang dan menyambut rasa sakit itu, bukannya malah mencak-mencak tak karuan dan membuat teman-teman di sekeliling anda takut. Dengan begitu, rasa sakit itu dengan sendirinya akan melemah. Kira-kira begitu yang saya baca. Tanpa saya sadari, saya telah mempraktikkannya ke dalam kehidupan saya, terutama ketika ada perasaan aneh yang meluncur di dada saya ketika bayangan seseorang mucnul tiba-tiba. Biasanya, saya malah akan berusaha mempositifkan diri dan menolaknya. Sehingga di malam berikutnya, bantal saya akan basah karena kembali teringat oleh sosok itu.

"Ini adalah proses yang memang harus dijalani. Jangan berusaha lo tolak, ikutin aja... Gue yakin kok lo nggak akan selamanya kayak gini terus. Lo pasti akan bisa berpindah tempat suatu hari nanti. Nggak perlu menghindar atau berusaha melupakan, semua itu akan berakhir tanpa sadar, ketika lo telah menemukan kesibukan dan hal-hal baru lainnya. Percaya deh."

Yah, kira-kira begitu yang saya kataka kepada teman saya. Bijak atau sok bijak saya tak peduli. Semua itu keluar lancar dari otak saya ke mulut saya, lalu ke telinganya. Lalu, ia berterima kasih dan mencoba menenangkan diri. Esok harinya ia berterima kasih kembali dan mengaku sudah mengerti dan tahu apa yang harus ia lakukan. Tentu saja saya senang mendengarnya, sebagai sahabat, adalah hal yang menyenangkan bisa membantu menyelesaikan masalah sahabatnya. Ia tidak tahu saja malam setelah hari curhat itu saya habis menangis sejadi-jadinya karena berusaha untuk melupakan, berusaha untuk menolak, mengingkari apa yang saya katakan sendiri siang harinya. Detik ketika ia berterima kasih, saya sadar, saya pernah benar-benar melakukan apa yang saya katakan pada teman saya, tanpa sadar. Saya ingat saya telah merasa jauh lebih baik setelah menertawakan memori-memori yang muncul, sebelum malam ketika saya lupa harus bagaimana memperlakukan suatu ingatan. Menurut saya ini adalah sebuah instinct, ketika kita tahu harus menjawab dan berkata seperti apa kepada orang lain. Hal ang bisa jadi benar ataupun salah. Hal yang bisa saja kita sadari belakangan, lalu kita jadikan bahan introspeksi. Ya, saya jadi tahu apa yang harus saya lakukan ketika perasaan itu muncul. Saya akan menulis selepas-lepasnya soal memori itu dan mem-post hal apapun yang berkaitan dengan hal itu, tertawa bersama dengan hal-hal lucu yang menyertainya, memanyunkan bibir ketika menyesal. Ya, saya benar-beanr menyambutnya. Hasilnya? Tak seperti sedang menggembol beban berat di punggung :) Mungkin benar kata orang, dengan berbagi ilmu dan memberitahu apa yang kita yakini kepada orang lain, akan membuat kita belajar lebih banyak dan lebih mahir dalam hal itu. Itu sebabnya, tanpa banyak protes, terima saja pesan dari sahabat dan keluarga, selama hal itu positif. Jadilah cermin untuk mereka di saat mereka lupa dengan perkataannya, dengan begitu kita akan sadar kalau hidup ini adalah sebuah refleksi. Depok, 27 Januari 2011 DWS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun