Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jakarta Tetap Memesona Meski Segera Tidak Lagi Jadi Ibu Kota

29 Agustus 2019   11:18 Diperbarui: 29 Agustus 2019   15:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai warga yang lahir, besar, bersekolah, bekerja, jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi, naksir cowok tapi dia ga naksir, ditaksir cowok tapi saya ngga naksir, sampai akhirnya Allah kirimkan jodoh terindah  yang semuanya terjadi di Jakarta saya berusaha mencari sisi positifnya mengapa saya perlu mengajak pembaca semua untuk mengikhlaskan perihal Jakarta tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara. 

Banyak hal yang kita patut pahami dari Jakarta ini, sebut saja soal kemacetan yang setiap hari terjadi, tidak peduli pagi, siang, sore ataupun malam. Termasuk juga tidak peduli apakah di hari kerja, ataupun hari libur tingginya volume kendaraan yang memadati jalan raya menjadi pemandangan yang amat biasa. 

Berkat terlalu biasanya, tidak sedikit yang terheran-heran saat perjalanannya di atas tanah Jakarta ini begitu lancar, ungkapan-ungkapan semacam "eh tumben lho jalanan lancar...." sekali-sekali terdengar. Menghadapi satu permasalahan ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempuh berbagai cara melalui penerbitan regulasi, mulai dari penerapan 3 in 1 di beberapa jalur protokol yang kini diubah menjadi ketentuan ganjil genap, kemudian diperluas area yang berlaku ganjil genap seiring dengan bertambah panjangnya jam berlaku peraturan. 

Penambahan armada Transjakarta dan pembenahan ketepatan waktu kedatangan bus, penyegeraan operasional MRT dan LRT, hingga wacana pemberlakukan jalur berbayar selain jalan toll, menjadi fokus pemerintah terkait demi mengurangi kemacetan di Jakarta tercinta.

Kepedulian pada Kota Metropolitan ini memang tidak hanya menjadi perhatian para pejabat Negara saja, namun juga menarik perhatian komunitas pengayuh sepeda untuk mengurasi polusi di mana mereka mengajak masyarakat untuk bersepeda menuju lokasi kerja, jika masih terjangkau dan memungkinkan. 

Selain itu munculnya armada ojek berbasis jaringan juga sebagai bukti banyaknya pihak yang peduli dengan beban Jakarta terkait kemacetan yang kian hari kian bertambah berat. Tingkat mobilisasi warga Jakarta memang sangat tinggi ditambah lagi arus urbanisasi yang hingga kini masih terjadi. Jakarta memang banyak menarik perhatian masyarakat dari kota-kota lain sebagai tempat peraduan nasib dan mencari peruntungan, sehingga menyebabkan konsentrasi jumlah penduduk terus bertambah.

Pada saatnya nanti jika Jakarta resmi tidak lagi menjadi Ibu Kota maka konsentrasi tinggi yang selama ini terpusat di Jakarta semoga dapat terbagi dengan kota-kota lain, khsusunya yang menjadi Ibu Kota Indonesia. Ekonomi yang merata misalnya, jika selama ini begitu banyak masyarakat yang tertarik untuk mencari pekerjaan di Jakarta karena begitu banyaknya pusat perkantoran, pemerintahan dan lain sebagainya, maka kondisi ekonomi yang seperti ini dapat pula dibangun di kota lain karena adanya kebutuhan aktifitas daerah sebagai Ibu Kota Negara. 

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat lebih merata, termasuk juga bagi kota-kota lain sebagai penopang Ibu Kota yang berada di sekitarnya. Bukankah kita semua ingin mengamalkan sila ke 5 Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Maka, setiap wilayah berhak untuk terbangun ekonominya dan maju bersama kota-kota lainnya.

Dari sisi pariwisata, jika Jakarta sudah tidak lagi menjadi Ibu Kota maka siapapun dapat berwisata yang sebenarnya di sini, karena apa? Semoga polusi sudah dapat berkurang, sehingga udara menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Banyak destinasi wisata menarik di kota ini, tetapi proses menempuh lokasinya saja sudah terkena macet di sana sini, belum lagi polusi yang tiada henti, menjadikan orang yang ingin berwisata tidak sepenuhnya dapat merehatkan tubuh dan pikiran, karena macet sungguh menguras jiwa dan raga. 

Belum lagi cerita jika ada keluarga yang berkunjung dari luar kota dan ingin menikmati minimal dua saja lokasi wisata di Jakarta, tentu tidak dapat diwujudkan dalam satu hari karena satu lokasi saja perlu dijangkau dalam waktu yang tidak sebentar, karena macet misalnya. Dengan demikian di kemudian hari nanti jika konsentrasi ekonomi sudah terbagi semoga siapapun yang berkunjung ke Jakarta dapat menikmati seluruh isi kota dengan bahagia.

Dari sisi representasi Negara, Jakarta mungkin sudah cukup menampung semua perwujudan seperti adanya pusat pemerintahan, pusat perkantoran, pusat perbelanjaan, adanya musium, bangunan bersejarah dan lain sebagainya. Seiring berjalannya waktu semua itu akan bertambah, jumlah pusat perbelanjaan bertambah karena semakin tingginya daya beli konsumen, pusat perkantoran akan bertambah seiring dengan tingginya usia-usia produktif, serta fasilitas lainnya yang akan semakin membuat sesak Jakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun