Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Harus Perbaiki Standar Soal Terorisme

28 Mei 2022   05:30 Diperbarui: 28 Mei 2022   05:37 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita mungkin masih ingat kejadian bom Surabaya dimana pelaku bom bunuh diri dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri ayah ibu, dan tiga anak. Mereka memencarkan diri dengan tugas masing-masing yaitu membawa bom untuk diledakkan . Bom bunuh diri itu memang meledak nyaris bersamaan yaitu umat telah selesai kebaktian pertama dan akan masuk kebaktian kedua pada hari itu. Aksi teror itu membuat tiga gereja luluh lantak yaitu gereja Katolik di daerah Ngagel, gerja Protenstan (GKI) di daerah Diponegoro dan dan gereja Pantekosta di daerah Sawahan.

Bagi warga Surabaya, kejadian ini mungkin tak terlupakan. Indonesia juga. Bom yang membuat walikota Risma (waktu itu) menangis karena rangkaian bom bertubi-tubi terjadi di Surabaya. Sepengetahuan kita kota ini bersifat egaliter, terbuka dan meski kelihatan kasar dalam omongan, tapi mereka jauh dari dendam apalagi kekerasan.

Begitu juga dengan rangkaian bom di Bali pada tahun 2001 dan 2005, juga rangkaian bom di Jakarta yang menyesakkan dada warganya. Di beberapa daerah juga terjadi bom seperti di Mojokerto, Jombang, Solo, Makasaar dan lain sebagainya.

Kita pernah dinilai sebagai negara yang kurang aman di mata masyarakat global terlebih soal keamanan. Bisnis yang baik akan menjauhkan diri dari situasi tidak aman dan negara dengan multi etnis seperti beberapa negara di Asia Tengggara memang sangat rentan soal keamanan.

Hanya saja kelemahan kita (masyarakat Indonesia) bahwa kita terlalu ramah terhadap orang lain termasuk orang asing. Hambali yang merupakan sosok berbahaya danberasal dari Cianjur dab sangat berpengalaman di perang Afganistan misalnya, tidak bisa hidup dengan baik di Malaysia atau Thailand karena pihak keamanan dan warga Malaysia selalu membatasi hal atau sikap yang mengarah pada radikalisme apalgi terorisme,

Tetapi ketika dia pindah ke indonesia, dia dapat hidup relatif lebih lama dan menyusup diantara warga biasa. Banyak warga Indonesia yang tidak mengenalinya (sebagai teroris berbahaya) dan berulang kali menjadi mentor beberapa teroris muda untuk melakukan rangkaian bom bunuh diri. Hambali (atau dikenal sebagai Ecep Nurjaman) akhirnya ditangkap CIA di wilayah Thailand.

Apakah kita terlalu permisif (longgar)  soal kekerasan bahkan terorisme ? Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, para pakar dan akademisi kita akan menjawab ya.

Banyak sekali faktor penyebabnya antara lain karena majelis-majelis ilmu telah berubah fungsi menjadi mimbar pengkafiran dan ajang menuduh sesat serta bid'ah. Hanya karena berbeda madhab dan berbeda penafsiran teks agama lantas dikecam dan dilabeli kafir, murtad, musyrik dan bid'ah. Terhadap penganut agama lain pun lebih kejam lagi, mereka harus dihabisi.

Karena itu tidak heran jika UAS ditolak di Singapura dan simpatisnnya marah-marah menyayangkan hal itu terjadi.Karena itu mungkin kita perlu belajar dari kejadian ini: bahwa kita harus tegas terhadap kekerasan dan terorisme. Kita harus perbaiki standar kita soal ini.

Kita juga harus belajar dari Singapura yang tegas dan tanpa ampun demi keamanan warganya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun