Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Menyatukan Perbedaan

11 Desember 2020   06:16 Diperbarui: 11 Desember 2020   06:25 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua tahun lalu, atau tepatnya nyaris tiga tahun lalu yaitu pada awal tahun 2018, Menteri Agama (waktu itu ) yaitu Lukman Hakim mengatakan hal penting soal agama dan politik. Kebetulan pada tahun itu ada sekitar 171 daerah yang mengadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Karena pilkada yang berlangsung begitu banyak dan serentak, banyak pihak menamakan tahun itu sebagai tahun politik.

Lukman Hakim mengatakan seperti ini : " Mari kita kembalikan agama untuk menyatukan perbedaan, bukan menggunakan agama untuk menjadikan kita saling menegasikan (bertentangan) satu dengan yang lain bahkan saling merendahkan." Dalam pidato selanjutnya, Lukman Hakim meminta para tokoh dan umat memberi kontribusi untuk mewujudkan hal itu. Lukman meminya mereka menjadi pihak yang bisa mempersatukan hubungan persaudaraa sesama manusia.

Lukman memang berbicara pada konteks agama yang waktu itu sangat dipengaruhi oleh politik. Tahun itu adalah setahun setelah pilkada Jakarta yang sangat panas dan rasis berlangsung. Pilkada Jakarta dikenang sebagian orang sebagai pilkada yang panas dan mampu menceraiberaikan orang serta sering mengatasnamakan agama. Tahun itu juga adalah setahun sebelum Pemilihan Presiden berlangsung, sehingga aura politik sangat terasa dalam setiap gerak masyarakat.

Banyak hal yang dipengaruhi oleh politik pada saat itu. Tak hanya obrolan di warung-warung kopi tapi juga di banyak tempat, di caf, di pasar, di taksi dan sebagainya. Bahkan politik juga mempengaruhi isi ceramah mimbar pada hari Jumat. Saat itu tak ada celah sedikitpun untuk tidak membicarakan politik.

Sebagai santri yang besar dan dikelilingi oleh ulama bijak seperti Lukman Hakim (dan beberapa ulama lain) kondisi itu memang sangat menyedihkan karena masyarakat banyak yang termakan hasutan politik termasuk para ulama.

Padahal jika kita kembalikan pada makna dan fungsi agama di tengah masyarakat agama seharusnya merangkul dan mengayomi serta membuat sesama manusia lebih mengutamakan kebersamaan di tengah keragaman. Agama juga seharusnya juga kembali ke esensinya yaitu menebarkan kedamaian dan rumah ibadah (apapun itu baik masjid, gereja, vihara, pura dsb) tidak dicamuri oleh politik praktis yang hanya mengejar kekuasaan semata.

Kini, tiga tahun setelah itu, kita juga berhadapan dengan kondisi yang kurang lebih sama meski berbeda. Kita baru saja menyelesaikan Pilkada serentak yang sangat akbar yaitu 270 daerah dengan rincian sempilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kotamadya. Harus kita syukuri karena Pilkada serentak dan akbar ini berlangsung di tengah pandemic.

 Namun atmosfer kebangsaan kita juga dipengaruhi oleh beberapa kejadian sebelumnya seperti seorang ulama dan pengikutnya yang membuat kejdian tidak kondusif, seperti kit abaca di berbagai media massa. Agama kembali dijadikan tameng atau alat untuk melakukan pembenaran hal-hal yang melawan hukum; sesuatu yang tidak dibenarkan oleh agama di manapun termasuk oleh ulama yang punya banyak pengikut.

Karena itu ucapan Lukman Hakim dua-tiga tahun itu sebenarnya masih relevan untuk saat ini: " Mari kita kembalikan agama untuk menyatukan perbedaan, bukan menggunakan agama untuk menjadikan kita saling menegasikan (bertentangan) satu dengan yang lain bahkan saling merendahkan."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun