Kominfo menunjukkan diperlukan pengetahuan tentang literasi digital yang terdiri atas empat pilar literasi, yaitu digital skill, digital culture, digital ethics, dan  digital safety untuk menciptakan SDM yang unggul.
Pilar pertama adalah digital skill. Keahlian digital secara umum adalah kemampuan menggunakan perangkat digital dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan smartphone, dapat menggunakan e-mail, menggunakan  e-pajak, e-paspor, aplikasi e-commerce dan lainnya.
Sedangkan keahlian digital secara lebih 'advance' diperoleh dari kursus dan juga dari bangku kuliah. Saat ini ada begitu banyak kampus yang membuka jurusan seperti teknik komputer, teknik informatika, ilmu komputer, sistem informasi, dan sebagainya. Apa bedanya jurusan tersebut? Tentunya ada bedanya dari kurikulumnya, ada yang lebih dominan praktik, ada juga yang materi mata kuliahnya memang berbeda.
Meski lulusan dari jurusan-jurusan ini cukup banyak, jumlah ini dirasa belum cukup sehingga Kominfo beberapa tahun terakhir ini rajin mengadakan Digital Talent Scholarship. Ada berbagai kategori yang bisa diikuti lulusan fresh graduate, lulusan SMU/SMK, diploma, dan masyarakat umum.
Sepengetahuanku sebelum pandemi, acara ini dihelat secara tatap muka bekerja sama dengan Fasilkom UI. Peserta yang sudah lulus seleksi kemudian wajib mengikuti semacam kuliah tatap muka dan mendapat uang saku. Ketika lulus, peserta akan mendapat sertifikat. Tapi selama pandemi, semua kegiatan berlangsung secara online.
Tidak semua materi diwajibkan berasal dari latar teknologi informasi, ada juga yang bisa diikuti masyarakat umum dari berbagai usia dan latar.Â
Waktu itu aku mengikuti kursus Digital Entrepeneurship bersama Google yanh diikuti masyarakat umum. Acaranya sekitar tiga jaman, materinya lumayan bagus, padat, dan dapat sertifikat.
Berdasarkan proyeksi Kominfo hingga tahun 2035 diperlukan sekitar 9 juta SDM yang memiliki kemampuan digital skill. Nah bagi yang adik-adiknya masih bingung memilih jurusan kuliah, maka bisa memilih bidang TI karena makin banyak diperlukan ke depannya.
Pilar kedua adalah pilar digital culture. Budaya digital yang dimaksud adalah meskipun kita berada di dunia virtual namun tetap berada di koridor yang berwawasan kebangsaan, memiliki nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan. Dunia fisik dan dunia virtual di Jndonesia itu sama aturan dan budayanya.
Maksudnya, ketika memanfaatkan layanan digital maka janganlah digunakan untuk menyebar hoaks dan  menjual barang-barang berbahaya di e-commerce, atau menggunakan bahasa yang kasar untuk menghina karena merasa menggunakan akun anonim.
Berikutnya pilar digital ethics yaitu pengetahuan tentang etika menggunakan layanan digital. Misalnya tidak mencuri karya orang lain dan mengaku sebagai miliknya, tidak mencontek pada saat ujian daring, dan sebagainya.